Sebenarnya sudah kesal dan capek juga menghadapi beragam isu terkait kesehatan. Terutama yang kini sedang meledak, yaitu Covid-19.
Beragam cara disampaikan dan berupaya untuk menghindari dan melawan hoaks. Tapi apa hendak dikata, tetap saja sesekali bobol.
Jadi, upaya untuk membantu berbuat baik, terkadang bisa bernasib apes, "Wah, ternyata infomu tak valid. Kabar bohong. Menyesatkan."
Apa jadinya kalau hal itu ditujukan kepada orang yang memberikan kabar pertama tadi? Tentunya juga kaget, tak menyangka saja. "Lho?!"
Lebih celaka lagi, jika yang menginformasikan tadi profesinya tidak jauh dari dunia kesehatan.Â
Waduh, tambah malu dan rikuh menghadapi kawan-kawan dalam satu grup percakapan.
Cek dan Ricek
Sebaik-baiknya niat baik, tentu juga perlu diimbangi dengan langkah yang baik. Sebaik-baiknya pedoman menghindarkan diri dari hoaks, tentu tindakan "sabar sebar" adalah cara pertama yang sebaiknya wajib dilakukan.
Ada rasa bersalah juga ketika saya atau kita memberikan informasi yang menurut kita baik. Apalagi terhadap masalah kesehatan dan ada yang sedang membutuhkan pertolongan. Tapi akhirnya, ending dari penyebaran informasi tadi ujung-ujungnya bermasalah.
Kalau menghadapi berita (news) barangkali lebih mudah untuk memantau dan menangkal. Langkah preventifnya misalnya sebagai berikut:
1. Lihat dari judul berita
Kalau judulnya saja sudah bombastis, provokatif, sensasional. Hal ini bisa jadi peringatan dini, warning. Apakah kabar ini benar ataukah tidak. Serta, layakkah dipercaya atau menyesatkan.
Jika tahu seperti ini, perlu membandingkan dengan referensi berita senada dan dari situs terpercaya, sudah terverifikasi. Dengan begitu akan ada informasi pembanding yang seimbang.
2. Lihat sumber asal berita
Lebih baik memang sebuah sumber berita berasal dari media yang sudah punya nama besar. Tetapi tidak menutup kemungkinan, berita baik itu berasal dari nama situs yang kita belum akrab benar.
Kalau nama yang baru diketahui itu berafiliasi dengan jaringan media yang layak dipercaya, ya tak mengapa. Kalau sebaliknya, perlu waspada
Ini yang kadang tidak mudah melakukannya, walaupun penting. Pemeriksaan fakta ini terkait soal nama penulis berita tersebut. Misalnya soal kompetensi atau keahliannya terhadap artikel yang ditulisnya tersebut.
Pokok bahasan yang ditulisnya itu apakah cenderung membentuk opini, menggiring pembaca pada sebuah ajakan tertentu.Â
Bias tulisan tanpa menyertakan data pembanding alias berat sebelah bisa menjadi urutan selanjutnya dalam menilai.
Data yang bersifat baru atau lama, punya konsekuensi yang berbeda pula. Metadata tanggal penulisan tentu punya batas waktu alias kadaluwarsa.Â
Sumber lama tentu tidak lebih valid dijadiikan rujukan yang up to date, kekinian. Katakanlah info tersebut sudah tidak berlaku lagi.Â
Antisipasi
Saya belum menemukan cara paling efektif untuk memilah dan memilih informasi yang datangnya berhamburan. Terkhusus yang melalui grup percakapan tertutup dan khususnya soal kesehatan.
Siapa sih yang ingin sakit? Siapa pula yang ingin terus sehat? Ledakan informasi seperti ini, ditambah dengan melonjaknya kasus Covid-19, berita atau informasi terkait dengan ini juga silih berganti datangnya.
Sekali lagi, kalau isinya berita, cara di atas masih bisa melakukannya. Namun kalau hanya sekadar tips, info penting, bantuan, darurat, bagaimana juga cara mengeceknya? Hanya terlihat di postingan itu, "Diteruskan" atau "Diteruskan berkali-kali."
Kalau sekadar meneruskan kembali, tak masalah. Tetapi apakah isinya tadi "bermasalah" ataukah tidak, itu kan yang jadi masalahnya. Repotnya orang awam kan ada di daerah ini. Rawan untuk menilai valid tidaknya.
Kalau punya basic dasar pengetahuan atau kompetensi yang sama, masih bisa membantu. Kalau tidak, itu bisa jadi masalah. Apalagi dalam satu grup percakapan, tentu di dalamnya terdiri dari karakter orang yang berbeda pula. Salah paham bisa jadi masalah lagi.
Sudah salah terhadap informasinya, salah pula terhadap orangnya. Satu masalah belum tuntas, datang lagi yang lain.
Barangkali kalau lebih sopannya adalah memberi "warning" dulu, bahwa saya punya informasi seperti ini. Info ini bagus. Tapi saya tidak tahu apakah ini benar atau tidak. Seandainya benar, semoga bermanfaat. Jikalau tidak, mohon dimaafkan karena kekurangtahuan saya.
Dengan permakluman seperti ini, paling tidak akan menghindari rasa tidak enak seperti terjadi di awal kisah ini. Bukan berarti melepaskan diri dari tanggung jawab, tapi murni dari ketidaktahuan atau kekurangpahaman semata.Â
Niatnya sudah baik, memberi informasi buat kesehatan bersama. Tapi jangan sampai jatuhnya pada kesalahan dalam menyampaikan isi pesan yang ternyata tidak benar.Â
Ada yang pernah memiliki kasus serupa?
5 Juli 2021
Hendra Setiawan
*) Bacaan:Â Kompas
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H