"Rumah Belajar" seperti apa yang dimaksudkan hingga terhadap benda mati yang oleh leluhur dan generasi tempo dulu menjadi tempat sakral, bisa jadi tak berharga sama sekali nilainya? Belajar apa? Kebencian terhadap pemeluk keyakinan yang berbeda? Kebencian terhadap simbol budaya warisan kekayaan Nusantara?
Guru macam apa yang bisa begitu dahsyat mampu menerbitkan semangat anak-anak 3-12 tahun berani melakukan perusakan? Ini bukan lagi sekadar penyakit "fobia", ketakutan yang tak beralasan. Ini penyakit yang lebih berbahaya ketimbang si copid.
Tak pantas sebutan "guru, pendidik, pengajar, pengasuh, rumah belajar" disematkan jika pada ujungnya menanamkan kebencian pada mereka yang berbeda. Karakter budi pekerti macam apa yang diharapkan dari bentuk pengajaran seperti ini?
Ingat pepatah lama, "Guru kencing berdiri, murid kencing berlari." Pendidik yang memberikan pengajaran salah dan sesat, dapat membuat anak didik bisa bertindak jauh lebih berbahaya.
Jangan biarkan pengajaran dan perilaku intoleransi (SARA) terus didiamkan. Saatnya bergerak dan bertindak. Kalau tidak, intoleransi makin "nggegirisi"; makin mengerikan keadaannya.
Langkah pembinaan kepada para pelaku memang jalan terbaik. Usia mereka masih jauh dari batas umur "dewasa" menurut hukum. Pemidanaan murni juga belum dapat diberlakukan menurut hukum positif.
Namun kasus yang menyangkut "intoleransi" wajib dilanjutkan ke ranah hukum. Jangan biarkan virus-virus seperti ini kian merajalela dan merusak kedamaian dan keharmonisan sesama warga-bangsa.
Salam satu cinta untuk Indonesia....
23 Juni 2021
Hendra Setiawan
*) Nggegirisi = menyeramkan