"Lihatlah jika randu alas menggugurkan daun, berbunga, hingga bersemi, itu menjadi tanda penting bagi petani untuk menentukan musim tanam.Â
Ketika bambu banyak keluar rebungnya, itu bisa jadi tanda dimulainya musim tanam.
Lihatlah ketika pohon asem mulai bersemi, itu menjadi penanda bahwa musim tanam akan segera dimulai.Â
Dengarlah jika ada suara nyaring dari garengpung, itu menandakan akan segera tiba musim kemarau.Â
Perhatikan burung manyar ketika dia membangun sarang dan bertelur, itu juga bisa menjadi penanda sebuah musim."
Pesan-pesan bijak dari para sesepuh untuk peka membaca tanda-tanda alam seperti di atas, mungkin sudah tak pernah lagi terdengar. Hanya sebatas tahu peristiwanya, tapi tak mengerti 'pesan' di balik peristiwa alam itu.
Sekelumit kisah ini menyadarkan kita kalau nenek moyang bangsa ini sebenarnya punya ilmu yang mumpuni. Namanya 'titen/niteni '. Tahu betul dan memperhatikan, cermat dan tidak gampang melupakan siklus alam yang terjadi.
Kalau dalam peribahasa Jawa, ilmu titen tadi bertumpu pada pedoman "alah bisa karana biasa (bisa karena terbiasa)".  Bisa mengerti, mampu melakukan, karena sudah terbiasa menjalaninya. Jadi bisa tahu, mengerti karena sudah menjadi kebiasaan. Karena perulangan kejadian, dengan tanda alam yang sama, pada waktu-waktu tertentu. Maka yang "biasa" tadi akhirnya "bisa".
Jadi kalau tidak mau menyalahi 'mangsa' (baca: mongso) alias musim, maka kaum petani tidak akan banyak merugi. Entah karena tanamannya rusak, terserang hama penyakit, kekurangan air, kekurangan sinar matahari dan  sebagainya. Itu pelajaran baik, yang berguna, dari kebiasaan turun-temurun nenek moyang yang telah terlatih.
Tumbuh dari Budaya Lokal
Dalam kultur budaya agraris, sistem kalender yang dipergunakan oleh para petani (atau nelayan) memiliki perhitungan sendiri. Kalender ini tentu dibuat dengan cara seksama dan tidak jadi dalam tempo yang singkat. Perlu bertahun-tahun hingga puluhan tahun mungkin, akhirnya baru bisa diperkenalkan dan di'paten'kan.