Pengalaman saya awalnya juga demikian. Jadi bertanya-tanya, "Mengapa kalau menjemur pakaian, pada bulan seperti ini kok cenderung panasnya ke arah kiri (utara)? Terus kalau di bulan yang lain kok jadi bergeser cahayanya ke arah kanan (selatan). Mengapa kok tidak pas lurus sinar itu seperti pada bulan tertentu?"
Begitu juga saat ingin memotret matahari terbit yang muncul. Mengapa satu ketika tampak cantik berada di garis lurus sebuah sungai atau jalan raya? Tapi pada waktu yang lain, lho kok datangnya jauh ke arah kiri (utara) atau kanan (selatan) dari biasanya. Tentu beda lagi tempat pengambilan gambarnya, supaya mendapatkan hasil foto yang juga indah dilihatnya.
"Aja gumunan, aja kagetan" tentu saja bisa fleksibel penerapannya. Bukan terhadap fenomena alam seperti ini saja. Dalam bidang yang lain juga bisa. Misalnya soal karakter manusia yang bisa berubah. Dulunya baik, sekarang jahat atau sebaliknya. Jadi bisa menjadi tindakan preventif, pencegahan. Tetap berhati-hati dan waspada, supaya suatu saat jangan salah jalan dalam mengambil sikap atau keputusan.
Perubahan sosial yang terjadi, yang terkadang cair dan tak mudah ditebak. Salah menafsirkan, bisa jadi masalah baru. Maka, peribahasa ini mengajarkan orang untuk tetap belajar sungguh-sungguh. Mencerna dengan baik agar hidupnya bisa bermanfaat bagi khalayak.
"Aja gumunan, aja kagetan". Dicerna dan dicermati saja dulu. Semua fenomena yang terjadi di alam semesta yang rutin terjadi, bisa didapati jawabannya. Asal mau belajar dan titen.
Â
19 Juni 2021
Hendra Setiawan
*) Artikel Utama sebelumnya: Menafsir Kultur Peribahasa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H