Sebenarnya tidak ada yang aneh dengan peristiwa alam seperti ini. Wajar saja karena pergerakan posisi matahari akibat kemiringan sumbu rotasi Bumi. Pada bulan Juni, posisi matahari berada di belahan utara.
Jadi matahari akan terbitnya bukan di titik timur, tetapi bergeser mendekati timur laut. Pada tengah hari, posisi matahari akan berada di arah utara. Sedangkan waktu terbenam bukan pada titik barat, tetapi mendekati barat laut.
Ketika terjadi vernal ekuinoks (matahari di titik nol derajat) yang terjadi di bulan Maret dan September, maka titik terbit matahari barulah tepat di timur, dan terbenam tepat di barat. Hal ini karena secara teori, matahari berada di garis nol derajat pada bumi.Â
Maka begitu juga nanti yang terjadi pada enam bulan ke depan di bulan Desember. Posisi gerak semu matahari menyebabkannya memiliki titik terbit berada dekat titik tenggara. Pada tengah hari posisi matahari ada di arah selatan, dan terbenamnya di dekat titik barat daya.
Fenomena seperti ini sebenarnya bisa dilihat dan dirasakan warga Indonesia. Sebab posisi geografisnya dilintasi garis semu nol derajat di khatulistiwa. Matahari tetap terbit dari arah timur, tetapi dalam perjalanan ke barat dia lewat jalur utara. Ya, seperti itulah kira-kira...
Nah, kembali pada falsafah leluhur, menghadapi fenomena demikian ini sepertinya ada peribahasa yang cukup pas. "Aja (dibaca: ojo) gumunan, aja kagetan."
Jangan gampang takjuh, jangan gampang heran. Tak usah terkaget-kaget dengan hal-hal yang sepertinya di luar kebiasaan normal. Padahal sebenarnya ketidaknormalan tadi adalah hal yang biasa saja.
Sebenarnya yang kasihan adalah mereka yang tak mengerti benar dengan hal ini. Mereka yang masih jauh dari dunia pendidikan. Mereka yang sebenarnya perlu mendapat edukasi yang tepat dan benar.
Bukankah fenomena seperti ini sudah dijelaskan melalui pendidikan geografi, ilmu alam (IPA) atau cabang ilmu lain yang erat kaitannya dengan alam dan benda langit.