"Apa lagi ini, sembako kok malah dikasih pajak. Sudah zamannya susah, apa-apa dipajak. Maunya apa sih negara ini?"
Ya, begitulah salah satu komentar yang muncul ketika ada wacana pengenaan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) untuk sembako. Isu ini terus menggelinding hingga kemudian bisa mereda ketika Menteri Keuangan Sri Mulyani tampil dan menjelaskan hal ini ke publik.Â
Asal Komentar
Poin penting terhadap berita sepekan terakhir ini adalah tentang "literasi" warga. Banyak yang salah paham dan salah menilai. Bahwa sebenarnya PPN sembako ini dikhususkan untuk untuk jenis barang yang dikonsumsi oleh kelompok menengah atas.
Kebijakan pajak tidak asal dipungut untuk penerimaan negara, tetapi juga disusun untuk menciptakan asas keadilan. Artinya, akan ada pembeda untuk barang sejenis dengan kualitas yang berbeda.Â
Misalnya beras dan daging impor kualitas super atau premium yang berasal dari luar negeri. Konsumennya terbatas, mereka patut diberikan pajak atas barang yang dikonsumsinya.Â
Hal ini tidak berlaku untuk beras dan daging yang berasal dari negeri sendiri. Harga di pasar umum (tradisional) tetaplah sama, tidak ada pengenaan pajak. Justru mereka dibantu dengan pemberian subsidi harga.
Polemik ini mencuat sehubungan dengan adanya rencana penyusunan Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Namun, bisa jadi karena asal telan judul berita tanpa mengerti maksudnya, opini menjadi liar.Â
Ironisnya, banyak orang yang mempercayainya. Bukan membaca langsung dari sumber berita asalnya yang bisa dipercaya.
Peduli Literasi
Biar sama-sama paham, kata "literasi" berasal dari bahasa Latin "literatus" yang artinya adalah orang yang belajar. Dalam hal ini, literasi erat kaitannya dengan proses membaca dan menulis.
Ada banyak pengertian atau definisi menurut para ahli. Namun, secara umum, literasi dipahami sebagai kemampuan seseorang dalam mengolah dan memahami informasi saat melakukan proses membaca dan menulis.
Dalam perkembangannya, definisi literasi berkembang sesuai perkembangan zaman. Tidak lagi soal kemampuan dalam membaca dan menulis semata. Ia sudah merambah pada praktik kultural yang berkaitan dengan banyak persoalan. Bisa dunia sosial, politik, budaya, keuangan, dan lain-lain.
Makanya, secara lebih spesifik, ada pula pengertian-pengertian khusus lagi seperti: literasi media, literasi komputer, literasi sains, dan sebagainya. Tergantung pada sisi mana pemahaman literasi itu dilekatkan.
Berliterasi secara kritis dalam masyarakat yang demokratis, terangkum dalam 5 (lima) verba (kata kerja yang merujuk pada tindakan), yaitu: memahami, melibati, menggunakan, menganalisis, dan mentransformasi teks. Kesemuanya ini merujuk pada kompetensi atau kemampuan yang lebih dari sekadar kemampuan membaca dan menulis.
Ironi Penguasaan Literasi vs Kemudahan Gadget
Entah, hasil survei ini apakah sudah ada perubahan atau pembaruan data atau belum. Tapi sementara data yang beredar adalah seperti ini.
Membaca hasil kesimpulannya saja, memang memprihatinkan. Coba saja bayangkan, Indonesia menempati ranking ke-62 dari 70 negara berkaitan dengan tingkat literasi. Dengan kata lain, berada di 10 negara terbawah yang memiliki tingkat literasi rendah.
Itu adalah survei yang dilakukan Program for International Student Assessment (PISA) yang dirilis oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2019.
Lebih jauh lagi, UNESCO menyebutkan Indonesia berada di urutan kedua dari bawah soal literasi dunia. Artinya minat baca warganya sangat rendah.Â
Menurut data UNESCO itu, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%. Artinya, dari 1.000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca.
Sementara, riset bertajuk World's Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca.Â
Persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Padahal, dari segi penilaian infrastuktur untuk mendukung membaca, peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa.
Pada sisi lain, ada 60 juta penduduk Indonesia yang memiliki gadget. Jumlah ini diperkirakan terus meningkat hingga 100 juta orang pada 2018, seperti dilansir oleh lembaga riset digital marketing Emarketer.
Dengan jumlah sebesar itu, Indonesia akan menjadi negara dengan pengguna aktif smartphone terbesar keempat di dunia setelah Cina, India, dan Amerika.
Ironisnya, meski minat baca buku rendah tapi data Wearesocial per-Januari 2017 mengungkap orang Indonesia bisa menatap layar gadget kurang lebih 9 jam sehari. Dan, tidak heran juga dalam hal kecerewetan di media sosial, orang Indonesia mampu berada di urutan ke 5 dunia.
TantanganÂ
Jadi apa yang bisa dipelajari dari data seperti di atas? Sudah daya literasinya dianggap rendah, tapi justru paling betah menatap layar gadget. Sudah begitu, cerewet dan garang lagi kalau sudah bermedsos.
Maka, jadilah kondisi ini ibarat peribahasa Jawa, "Tumbu ketemu Tutup". Tumbu adalah wadah nasi yang terbuat dari anyaman bambu. Agar nasi tidak kena debu atau didatangi hewan pembawa penyakit (lalat misalnya), maka ia perlu penutup (tutup). Jadi, klop, pas-lah ketika keduanya bertemu dan bersatu. Saling mengisi dan melengkapi.
Jadinya, orang yang kurang ber-literasi jadi sasaran empuk untuk penyebaran berita hoaks, informasi yang menyesatkan. Kecepatan jari untuk "like and share" (suka dan bagikan) melebihi kecepatan otak dalam menilainya.
Logis tidak, benar atau salah, bukan lagi menjadi yang utama. Prinsipnya asal sesuai kata hati (framing diri), itu yang lebih dipercaya dan disukai.
Harapan
Musim pandemi kini apalagi, gadget juga menjadi semacam kebutuhan. Tantangan terbesar yang dihadapi adalah mudahnya orang tergiring pada opini, bukan pada fakta yang tersedia. Fake news lebih digandrungi ketimbang portal media utama.
Reuters Institute menyebutkan, jurang terbesar saat ini justru adalah soal kepercayaan masyarakat terhadap media fake news (berita palsu) versus media yang valid.Â
Faktanya memang begitu, ketika diukur lewat Alexa.com (situs penyedia data komersial terkait traffic web). Beberapa media fake news bahkan bisa mengalahkan media mainstream (arus utama).
Bisa jadi inilah yang disebut dunia era Post Truth (pasca kebenaran). Sebuah keadaan ketika fakta obyektif menjadi kurang berpengaruh dalam pembentukan opini publik dibandingkan emosi dan keyakinan pribadi.Â
Di era Post-Truth ini, orang tidak lagi mencari kebenaran dan fakta. Justru afirmasi (penegasan) dan konfirmasi serta dukungan atas keyakinan yang dimilikinya, itu yang menjadi kunci.
Berita atau informasi bias, salah, tendensius, bombastis, tentu tak bisa dibiarkan berlalu-lalang. Kasihan mereka yang sebenarnya 'orang-orang baik', tapi terjebak pada kondisi demikian. Maka menjadi tugas bersama, 'orang-orang baik' untuk turut melakukan kontra narasi.
Tetap lakukan edukasi sedapat mungkin. Wartakan kebenaran secara objektif dan berimbang. Dan tentu saja ajar dan ajak lebih banyak orang untuk lebih 'melek' literasi.
17 Juni 2021
Hendra Setiawan
*) Sumber bacaan utama: katadata, cnbc, tribunnews, kominfo, sevima
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H