Belum lagi ditambah peran 'agamawan' yang terkadang justru seenaknya menafsir ayat KItab Suci. Budaya itu bertentangan nilai agama. Jauhi, jangan dipakai, dan seterusnya. Seakan budaya yang lebih dulu hidup dan tumbuh itu, dicabut dari akarnya. Mati.
Jadi senyampang masih ada anak-anak muda yang masih mau dan bisa meneruskan budaya nenek moyangnya, patutlah dihargai. Dalam hal ini tentu bukan cuma yang dari suku Jawa, tapi dari suku-suku Nusantara. Kasus yang memang banyak dialami dan serupa permasalahannya.
Tafsir Narasi
Kembali pada teks di atas, kata "Ajining dhiri saka lathi" sebenarnya juga penggalan dari kalimat yang utuh. Setidaknya ada tiga bagian yang terkait dari peribahasa ini.  Kedua adalah "Ajining raga saka busana." Ketiga, "Ajining awak saka tumindak."
1. Ajining Dhiri saka Lathi
Jika dipecah berdasarkan katanya, ajining dhiri berarti harga diri. Saka  (baca: soko) artinya dari. Sedangkan lathi berarti lidah.
Kata ini mengandung makna harga diri seseorang bisa dilihat dari perkataannya, ucapannya.
Lathi sendiri adalah istilah tingkatan bahasa yang halus (dipakai untuk orang yang lebih tua). Dalam pemakaian bahasa umum, tingkat pertama (dipakai oang sebaya) adalah ilat. Artinya sama semua, yaitu lidah.
Tentu ada bermacam ungkapan peribahasa yang lain jika dalam versi bahasa Indonesia. Misalnya: lidah tidak bertulang, bercabang lidah, bersilat lidah, dan lain-lain.
Artinya lidah itu peka. Salah omong, bisa jadi perkara. Orang yang suka berkata-kata tapi suka ingkar janji bisa dikatakan pembohong.
Jadi, pesannya adalah jagalah lidah. Bertutur-katalah yang baik. Harga dirimu bisa terlihat dari ucapanmu. Ucapan yang keluar dari mulut yang baik, sopan; secara tak langsung akan mencitrakan orang yang baik pula.