Terlebih lagi dengan cerita poligami yang diangkat. Apa tidak pernah baca UU Perkawinan? Azas utamanya adalah monogami. Perkecualian untuk itu banyak prasyaratnya.
Apakah ini mau promosi terselubung? Wanita kok gampang ditimbang bak barang dagangan? Anak perempuan atau wanita kok jadi tak punya daya begitu?
Okelah, kalau itu diangkat dari kisah nyata yang masih terjadi di sebagian masyarakat. Tetapi pesan moral apa yang mau ditampilkan?
Televisi sebagai tontonan, seharusnya juga menjadi tuntunan. Masyarakat memang butuh hiburan, tapi berilah hiburan yang juga berkualitas.
Menjadi ironis jika pemerintah tengah berjuang keras mencegah pernikahan usia anak. Namun konten yang ditayangkan oleh media penyiaran hanya menampilkan sisi profit dan hiburan semata.Â
Berdasarkan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3&SPS). penyedia layanan konten, pada hakikatnya dapat memberi informasi, mendidik, dan bermanfaat bagi masyarakat, terlebih bagi anak. Setiap tayangan harus ramah anak dan melindungi anak.
Banyak Pekerjaan Rumah
Ada banyak persoalan yang tak bisa diselesaikan hanya sekadar penggantian peran utama oleh rumah produksi (production house) sebagai pembuat sinetron. Respons tuntutan tayangan sehat dan bermutu, tak jua ada titik terang.
Pelaku industri dan pemerintah lewat KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) hanya bersifat normatif dan reaktif; tidak proaktif. Bersuara dan bergerak hanya ketika menjadi santer dalam polemik.
Pada sisi lain, bukankah sudah ada payung hukum yang jelas? Sebelum anak dianggap dewasa secara hukum (19 tahun), seseorang masih di bawah pengampuan dari orang tua atau wali. Jadi, persoalan anak di bawah umur yang bekerja, tetap menjadi tanggung jawab orang tua atau wali.Â
Apakah dalam hal sekadar tuntutan peran bisa termasuk kategori eksploitasi? Mari diskusikan lebih lanjut... Orang tua/wali dan PH sebagai dua pihak yang berkontrak, jelas berada di barisan terdepan.Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!