Mohon tunggu...
hendra setiawan
hendra setiawan Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar Kehidupan. Penyuka Keindahan (Alam dan Ciptaan).

Merekam keindahan untuk kenangan. Menuliskan harapan buat warisan. Membingkai peristiwa untuk menemukan makna. VERBA VOLANT, SCRIPTA MANENT.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Menikmati Kebersamaan melalui Gerhana Bulan Total

27 Mei 2021   18:00 Diperbarui: 27 Mei 2021   18:03 578
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bulan yang terlihat lebih besar dan terang (foto: dok. pribadi dengan hape)

Kalau Bulan Bisa Ngomong. Begitu judul salah satu lagu populer nge-top dari Doel Sumbang, saat berduet dengan Nini Carlina di era 2000-an. Ini cuma pinjam judul saja, tidak hendak ngomong soal lagu tersebut.

Mari sejenak lupakan perbedaan. Sambut kehadiran sang rembulan yang sanggup mempersatukan pasang mata milyaran umat manusia.

"Terima kasih karena setiap pasang mata bisa berfokus pada satu titik yang sama. Di belahan bumi manapun yang mampu melihatnya, semua menjadi satu tanpa memandang perbedaan-perbedaan lainnya."

Fenomena Langka dan Istimewa

Ya, kemarin, Rabu, 26 Mei 2021, tepat bersamaan dengan perayaan Trisuci Waisak umat Budha, ada peristiwa langka. Terjadi Gerhana Bulan Total (GBT) yang terjadi pada jarak terdekatnya dengan bumi (perigee), yaitu 357.461 kilometer dari Bumi. Peristiwa ini juga menjadi satu-satunya yang terjadi di tahun 2021 ini.

Oleh karena itu, Bulan yang biasanya terlihat putih atau terang akan nampak berwarna merah. Hal ini disebabkan karena adanya pembiasan cahaya matahari oleh atmosfer bumi. Makanya, GBT ini juga disebut dengan istilah Bulan Merah Super atau Super Blood Moon.

GBT yang terjadi pada 15 suklapaksa (paroterang) Waisaka 2565 Era Budha yang jatuh pada 26 Mei 2021 pukul 18.13 WIB itu dapat dilihat secara mata telanjang. Sayang jika sampai melewatkan kesempatan berharga ini. Sebab, menurut kalkulasi alias perhitungan, fenomena ini akan terjadi lagi pada 10 Mei 2199, 21 Mei 2217, dan 16 Mei 2394. Wah, apa umurnya bisa sejauh ini, hehe...

Memang, perayaan Waisak pasti jatuhnya pada saat bulan purnama. Namun yang bersamaan dengan GBT, kejadiannya amat langka. Sebelum ini, GBT yang beriringan dengan Hari Raya Waisak dalam seabad terakhir pernah terjadi pada 24 Mei 1910, 14 Mei 1938, 14 Mei 1957, 25 Mei 1975, dan 16 Mei 2003.

Mundur ke belakang lagi, Bulan Super Merah yang beriringan dengan Hari Raya Waisak juga pernah terjadi sebanyak empat kali pada abad ke-19. Ini terjadi pada 10 Mei 1808, 21 Mei 1826, 1 Juni 1844 dan 21 Mei 1845.

Bulan yang terlihat lebih besar dan terang (foto: dok. pribadi dengan hape)
Bulan yang terlihat lebih besar dan terang (foto: dok. pribadi dengan hape)

Bulan dan Kesehatan Atmosfer Bumi

Keberadaan warna piringan bulan pada saat gerhana ternyata bisa menjadi penanda alam. Tanda baik atau buruknya kualitas atmosfer bumi, bisa terpantau dari sini.

Jika bulan berwarna merah cerah, itu berarti atmosfer cukup bersih dari aneka partikel debu dan polutan lainnya. Makin gelap warna bulan saat gerhana, menandakan makin kotornya atmosfer bumi.

Ada beragam faktor yang mempengaruhi kondisi ini. Misalnya akibat partikel sisa letusan gunung api, kebakaran hutan dan lahan, maupun polusi udara yang parah.

Memang sebelumnya sempat mendung. Jadi bulan tertutup awan. Syukurlah, masyarakat umum dan penikmat bulan akhirnya bisa menyaksikan peristiwa langka seperti malam kemarin.

Tentu, yang lebih asyik adalah buat para pecinta fotografi. Mereka bisa menyiapkan diri dengan bekal peralatan masing-masing. Mencari tempat yang paling pas, dengan sudut pandang dan background yang diinginkan.

Di tempat saya, bersama tetangga, walaupun tak sampai tuntas mengamati dalam waktu yang panjang, sudah cukup mengobati rasa puas. Pertemuan kecil yang juga menjadi ajang 'reuni' kisah masa lalu. Cerita dongeng dan kepercayaan dari para leluhur yang sebagiannya masih terkenang dalam ingatan.

Bagaimana di tempat Anda? Semoga kehadiran fenomena semesta ini juga mampu memberikan rasa guyub (kebersamaan). Memandang langit yang sama, berpijak di tanah yang sama, menghirup udara yang sama. Sama-sama mensyukuri nikmat pemberian-Nya.

27 Mei 2021

Hendra Setiawan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun