Ater-ater alias membagikan makanan kepada tetangga. Tradisi Jawa ini marak ketika menjelang bulan puasa hendak dimulai. Selain tentunya tradisi nyekar, berkunjung ke makam orang tua (kakek-nenek, ayah-ibu).
Dulu, saat masih SD, adalah kenangan Ater-Ater ter-"semarak" yang pernah dirasakan. Sekitar tahun 1980-1990-an, ketika generasi yang lahir sebelum kemerdekaan itu sudah menjadi generasi "emak-emak". Generasi yang masih mampu mewarisi tradisi para orang tua mereka.
Saat itu, di kampung, sore hari sebelum 1-2 hari mulai puasa (puncaknya H-1), para tetangga saling memberikan sepiring panganan, jajanan. Satu, dua, tiga, hingga tak terhitung lagi berapa banyak. Ini dari Bu A, ini dari Bu B, ini dari Bu C, dan seterusnya.
Malah, karena saking banyaknya kiriman yang datang, sebagiannya lagi diputar kembali untuk diberikan kepada tetangga yang lain. Haha... mbulet, Ater-Aternya ikut berjalan-jalan. Singgah dulu, transit sebelum sampai ke titik perhentian.
Waktu ini, kedamaian 'empat negara' masih bagus. Tidak ada keinginan dari 'Negara Api' ingin menguasai 'Negeri Angin, Negeri Tanah, Negeri Air'. Semua masih asyik-asyik saja. Hidup rukun di sebuah tanah bersama.
Tidak ada pembedaan si X itu orang Cina, si Y itu keluarga Kristen, si Z dari golek lemah (golongan ekonomi lemah). Semua bisa berpartisipasi. Memberi atau menerimanya. Akur...
Mulai Menghilang?
Kekerabatan dan kekentalan sebuah komunitas bisa semakin kuat atau merenggang. Tergantung bagaimana komunitas yang hidup di dalamnya menyikapi perubahan zaman. Memfilter pengaruh yang datang dari luar, apakah bisa semakin mengentalkan atau justru mencairkan ikatan komunal.
Terlebih lagi kepada generasi baru. Apakah mereka itu sempat mendapatkan wejangan dan 'turunan ilmu' dari generasi terdahulu? Atau warisan itu tak lagi menular padanya? Sebuah tradisi baik bisa saja menjadi hilang kalau sudah demikian.
Ya, Ater-Ater sebagai tradisi yang baik, barangkali di sebuah komunitas penduduk masih ada dan dipertahankan. Tapi ada pula yang sepertinya mulai ditinggalkan. Hanya satu dua keluarga yang masih melestarikannya. Itupun terkadang karena dunia kebatinannya berdasarkan pada kekayaan warisan agama suku, seperti Kejawen.
Kalau menilik akar katanya, "Ater" berasal dari Bahasa Jawa, yang jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia berarti antar. Pengulangan kata menjadi Ater-Ater bukan lantas berarti antar-antar lho ya. Lucu hehe... Artikan saja dengan mengantar ke sana ke mari. Arti yang jamak, bukan tunggal; yang dilakukan sekali pada satu tujuan.
Apa yang diantar? Biasanya adalah sepaket makanan yang diberikan kepada tetangga dan/atau sanak saudara. Jumlah itu biasanya disesuaikan dengan jumlah tetangga dan sanak saudara yang akan diberi. Tidak semua, sekampung lantas diberi. Cukuplah satu dua deret gang yang berdekatan rumah.
Menu wajib dalam Ater-Ater adalah kue apem dan buah pisang. Jenis lainnya terserah yang memberi. Aneka jajan pasar alias kue-kue. Kebanyakan yang tradisional, sangat jarang jenis yang modern. Tidak lumrah, dan tidak ada nilai filosofisnya.
Makna filosofi dari tradisi Ater-Ater sendiri adalah sebuah ungkapan syukur masih bisa melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadan tahun yang hendak dijalani. Selain juga saling berbagi kepada sesama. Dan, tentu saja untuk lebih mempererat hubungan antarwarga di lingkungan tempat tinggal.
Apa masih ada tradisi seperti ini di tempat tinggal Anda hingga saat ini? Apa namanya? Apakah juga sama bentuknya?
Selamat menyambut bulan puasa buat Anda yang melaksanakan ibadah ini...
12 April 2021
Hendra Setiawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H