Komentator itu termasuk salah satu profesi. Biasanya yang paling umum diketahui terkait dalam bidang olahraga. Ada komentator sepak bola, bulutangkis, dan sebagainya.
Tugasnya seperti seorang reporter, memberikan ulasan jalannya pertandingan. Â Memberikan informasi atau pengetahuan kepada pemirsa (TV) atau pendengar (radio).
Komentator dalam bidang seni, musik misalnya, maka ia bisa bertindak sebagai juri. Memberikan penilaian kepada peserta yang tampil. Plus minusnya seperti apa. Bisakah ia lanjut atau tidak pada babak selanjutnya.
Kalau yang berurusan politik, meskipun hampir sama atau mirip tugasnya, orangnya biasa disebut dengan pengamat, ahli, dan sejenisnya. Aneh kan kalau mereka terus disebut komentator?
Kalau dalam KBBI, penjelasannya adalah orang yang (pekerjaannya) mengomentari atau mengulas suatu berita dan sebagainya; juru ulas.
Nah, tapi kalau ada orang yang senang atau suka berkomentar sendiri tapi tidak diminta, maka mereka kerap pula disebut tukang komentar alias lambe nyinyir dalam bahasa daerah (Jawa).
Mengapa ia disebut begitu? Karena kebanyakan mereka itu dikatakan ahli di bidang keilmuan atau masalah yang sedang trend, bukan.  Pakar pada sebuah bidang tertentu yang terkait pada sebuah persoalan, juga tidak. Pokoknya asal bisa memberikan statement. Entah benar, entah salah. Entah cocok atau tidak . Terpenting adalah ikut bersuara. Kebanyakan kini adalah lewat media sosial, sarana tercepat yang bisa diketahui publik.
Masih mending (lebih baik) mereka yang bisa beropini secara lebih intelektual lewat sebuah kolom artikel. Daripada yang cuma mengeluarkan uneg-uneg (isi hati) pendek sebatas kritik tanpa memberikan solusi.
Termasuk dalam hal ini adalah komentar mengenai bencana alam yang sedang terjadi. Kejadian terkini yang sedang dialami.
Asal Bunyi
Saya memahami kegundahan sebagian "teman-teman" di media sosial yang mengkritisi soal lambatnya penanganan bencana. Terbaru adalah yang terjadi di Nusa Tenggara Timur. Â Provinsi dengan empat pulau besar, yaitu Pulau Flores, Pulau Sumba, Pulau Timor, dan Pulau Alor serta 562 pulau lainnya. Bencana badai siklon Seroja yang mengakibatkan banjir bandang dan kerusakan material parah di hampir seluruh kabupaten itu, memang perlu penanganan ekstra.
Kabar via grup WA dari orang yang bermukim di sana menyatakan kondisi yang terjadi sejak Minggu malam (4/4) mengakibatkan pula kelumpuhan jalur komunikasi. Jadi informasinya juga terlambat mengabari. Baterei handphone habis, tidak bisa mengisi daya. Untung sinyalnya masih mampu bertahan.
Banyak rumah porak poranda. Listrik padam total, yang diperkirakan butuh waktu 1 minggu untuk pemulihannya. Pom bensin juga tidak bisa beroperasi. Kebutuhan pangan juga tersendat. Tidak ada pasar yang buka.
Dalam kondisi yang sedemikian, transportasi jelas juga terdampak. Kalaupun Pemda memiliki stok pangan yang bisa dibagikan dalam keadaan darurat, juga perlu managerial yang baik agar bisa disalurkan secara merata.
Pada kondisi lapangan masyarakat yang terdampak sudah mengalami kesusahan seperti itu, alangkah 'keji' hati dan tak ada belarasa buat orang yang kemudian dengan mudahnya berkomentar, "Bencana itu hukuman dari Tuhan." Atau komentar yang bernada politis, "Akibat dipimpin oleh rezim xxxxxx."
Bisanya nyinyir, kritik, tapi tak memberi solusi. Langkah taktis yang nyata berguna bagi mereka yang sedang membutuhkan pertolongan dalam situasi genting.
Pemberian bantuan logistik dan kebutuhan bahan non-pangan, tetap perlu ada sistem administrasi dan koordinasi yang baik. Para korban sebagian besar berada di mana, mereka itu butuhnya apa saja, berapa banyak jumlahnya, juga dipikirkan dulu. Belum lagi kebutuhan kategorial lain secara lebih spesifik. Kaum perempuan juga butuh pampers, anak-anak butuh susu, dan seterusnya.
Manajemen bencana tak semudah koar-koar belaka. Kalaupun mampu untuk menyumbang dalam waktu singkat, mau dikirimkan pakai sarana transportasi apa, jalan menuju ke sana apa dapat dilalui atau sudah lumpuh total.
Komentator alias orang yang sukanya sekadar berkomentar, apalagi yang negatif, memang enak saja. Tak membutuhkan banyak energi untuk melakukan itu semua.
Cobalah kalau para komentator yang suka nyinyir itu disuruh turun ke lapangan. Wajib tinggal di tenda darurat. Ikut serta jadi relawan bencana. Biar tahu  seluk beluk dan suka dukanya. Buat pengalaman hidup, agar kalau menilai sesuatu itu bisa lebih jernih alam pikirnya.
6 April 2021
Hendra Setiawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H