Lagi-lagi peristiwa yang dipicu oleh sentimentil keagamaan pecah kembali. Makassar, Minggu, 28 Maret 2021, berlokasi di sekitar Gereja Katedral. Bom bunuh diri meledak. Mengoyak ketenangan yang telah berjalan sedemikian rupa.
Peristiwa seperti ini, tentu saja telah mencoreng wajah teduh agama yang begitu diagungkan. Pesan damai, pesan cinta kasih, seakan lenyap seketika.
Agama ternyata terlihat sebaliknya dari yang digaungkan. Ia tidak memberikan kesejukan bagi umat manusia pada umumnya. Wajah agama berubah menjadi begitu menakutkan.
Tidak salah lantas ada yang beranggapan tidak perlu ada agama. Toh, dengan agama, orang justru menjadi benci pada sesamanya, pada saudara terdekatnya. Dengan agama, manusia malah pongah, meninggikan dirinya sendiri, bertindak punya kuasa. Laksana algojo yang begitu kejam.
Kondisi yang amat bertolak belakang dengan prinsip dasar keyakinan itu sendiri, yang menyatakan bahwa Tuhan Sang Pencipta manusia itu mahabaik adanya. Dia sabar, pengasih, dan penyayang. Gambaran Sang Kuasa yang bagus, tapi menjadi hangus oleh kelakuan dari 'oknum' pemeluknya sendiri.
Agama yang semestinya bisa tampil menjadi perekat kebersamaan. Namun agama justru menjadi penyekat dalam pergaulan. Dengan agama, bukan nilai plus yang didapat, melainkan nilai yang minus. Bukan menyatakan kebaikan, tapi menebarkan keburukan.
Tidak salah kalau kemudian Andar Ismail, seorang teolog kristiani yang menerbitkan buku laris Seri Selamat, turut mempertanyakan hal ini. Dalam buku Selamat Natal (2000:22) ia menuliskan perenungan begini.Â
"Sebab apa gunanya orang beragama kalau keberagamaan itu ternyata tidak membawa manfaat bagi kesejahteraan sesama manusia? Lebih tajam lagi, apa gunanya beragama kalau ternyata justru karena beragama, orang malah jadi membenci pemeluk agama yang lain? Apa faedahnya agama-agama, kalau justru gara-gara agama timbul bencana?"
Teolog besar, atau tokoh agama yang berada di jalur yang benar, paham benar bagaimana semestinya menempatkan agama(-nya) pada dunia ciptaan secara utuh. Maka, perkataan alm. Gus Dur (Abdurrahman Wahid) rasanya tetap kontekstual dalam situasi gesekan yang berbalutkan agama.
Pernyataan ini pernah disampaikannya tatkala merespon tragedi di Surabaya beberapa tahun silam (peristiwa perusakan sejumlah gereja, 9/6/1996). Menurut Presiden ke-4 RI, kunci dalam membina dan menciptakan kedamaian dan kerukunan umat beragama adalah persaudaraan.
"Bukan toleransi dan tenggang rasa, sebab toleransi hanya akan menimbulkan rasa hormat, tapi tidak peduli. Sedangkan persaudaraan tidak memiliki rasa hormat dan peduli. Toleransi itu menghormati orang lain, tetapi dengan cara membiarkan atau tidak peduli. Sedangkan rasa persaudaraan, bukan hanya saling menghormati ajaran dan agama masing-masing yang dikembangkan, tetapi juga rasa peduli atas nasib dan masalah saudaranya."Â
Tidak ada yang akan menyangkal kalau keberadaan agama sebenarnya adalah untuk mengajarkan kebaikan. Namun sayangnya, konsepsi seperti ini seringkali hanya muncul di bibir saja. Tidak turun dalam tataran praktisnya. Terutama oleh mereka yang merasa menjadi "manusia suci".
Dalam kenyataan yang ada, justru terjadi yang sebaliknya. Dalam realita, melalui agama orang bisa saling membenci, memaki, marah, mengejek, mengumpat, dan bahkan bisa saling membunuh (fisik) dan menghancurkan (hak sosial). Atas nama agama orang rela dan tega membuat sesamanya menderita.
Memang, bagi orang yang benar-benar sadar hakikat beragama, memandang kejadian tersebut rasanya memilukan dan muncul rasa gundah yang mendalam. "Sungguh tidak masuk di akal. Bagaimana mungkin itu bisa terjadi? Sebuah pertanyaan yang bisa jadi klise kalau kejadiannya terus-menerus terulang.
Dalam akal rasio yang jernih, tidak bisa menggali kedalaman berpikir, "Mengapa bisa terjadi?" Agama yang selama ini menjadi salah satu dasar perisai aturan, menjadi porak-poranda. Agama sudah kehilangan jati diri sebagai sosok yang memiliki nilai sakral dan begitu agung.
Semantologi agama yang memiliki makna cukup bagus: "tidak kacau", justru menampilkan hal sebaliknya. Agama, oh... agama.... Agama yang dicari buat ketenangan batin, buat kedamaian hati. Agama juga bisa menjadi ajang caci-maki dan biang persoalan.
Ayo, kembalikanlah wajah agama yang ramah, bukan yang suka marah-marah. Wajah agama yang mampu membuat perteduhan, bukan perseteruan. Agama yang membawa pada keharmonisan, bukan membuat kegaduhan pada jagad semesta.
29 Maret 2021
Hendra Setiawan
 *) Sebelumnya:Â
(1).  Minggu Palma yang Lara  (Artikel Utama)
(2). Â Melawan Kelompok "POKOK-nya" (Artikel Pilihan)
(3).  Ketika Agama Dipertanyakan (Puisi)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H