Tidak ada yang akan menyangkal kalau keberadaan agama sebenarnya adalah untuk mengajarkan kebaikan. Namun sayangnya, konsepsi seperti ini seringkali hanya muncul di bibir saja. Tidak turun dalam tataran praktisnya. Terutama oleh mereka yang merasa menjadi "manusia suci".
Dalam kenyataan yang ada, justru terjadi yang sebaliknya. Dalam realita, melalui agama orang bisa saling membenci, memaki, marah, mengejek, mengumpat, dan bahkan bisa saling membunuh (fisik) dan menghancurkan (hak sosial). Atas nama agama orang rela dan tega membuat sesamanya menderita.
Memang, bagi orang yang benar-benar sadar hakikat beragama, memandang kejadian tersebut rasanya memilukan dan muncul rasa gundah yang mendalam. "Sungguh tidak masuk di akal. Bagaimana mungkin itu bisa terjadi? Sebuah pertanyaan yang bisa jadi klise kalau kejadiannya terus-menerus terulang.
Dalam akal rasio yang jernih, tidak bisa menggali kedalaman berpikir, "Mengapa bisa terjadi?" Agama yang selama ini menjadi salah satu dasar perisai aturan, menjadi porak-poranda. Agama sudah kehilangan jati diri sebagai sosok yang memiliki nilai sakral dan begitu agung.
Semantologi agama yang memiliki makna cukup bagus: "tidak kacau", justru menampilkan hal sebaliknya. Agama, oh... agama.... Agama yang dicari buat ketenangan batin, buat kedamaian hati. Agama juga bisa menjadi ajang caci-maki dan biang persoalan.
Ayo, kembalikanlah wajah agama yang ramah, bukan yang suka marah-marah. Wajah agama yang mampu membuat perteduhan, bukan perseteruan. Agama yang membawa pada keharmonisan, bukan membuat kegaduhan pada jagad semesta.
29 Maret 2021
Hendra Setiawan
 *) Sebelumnya:Â
(1).  Minggu Palma yang Lara  (Artikel Utama)
(2). Â Melawan Kelompok "POKOK-nya" (Artikel Pilihan)