“Ya, ampun, itu anak-anak sekolah diajari apa di sekolah? Kok bisa-bisanya melakukan tawuran! Bawa senjata tajam lagi. Tas kok isinya batu, bukan buku...”
“Duh, miris anak sekolah zaman sekarang. Masa melakukan ‘begituan’ di tempat umum. Kok kebangetan, ya... Wong masanya masih sekolah, sudah berani melakukan yang dilarang. Apa tidak kasihan orang tuanya. Anaknya sendiri apa yang tidak malu?!”
Walaupun tak sama persis kalimatnya, begitulah kira-kira komentar orang tua yang sekarang berada di rentang usia di atas 60-70-an atau lebih.
Usai zaman tawuran pelajar dulu, masa kini beritanya jadi aksi demo berujung rusuh. Nomor dua itu yang selalu aktual dari masa ke masa. Ada saja versi tiap zaman.
Kurang Asuhan
Mempersalahkan pelaku tunggal, khususnya mereka yang masih kategori pelajar, yang dalam UU Perlindungan Anak berada dalam batas umur 18 tahun, tentu bisa jadi perdebatan. Khususnya mereka yang punya latar belakang psikologi, medis, atau sosial.
Tak jarang, lingkungan pergaulan sosial atau justru lingkup terkecil di keluarga, mempengaruhi seseorang memiliki sikap dan perilaku yang negatif. Seperti dalam dua contoh naratif di atas.
Masih berkaitan dengan Hari Dongeng Sedunia (20 Maret), apakah ada kecenderungan anak yang jarang mendapat "didikan baik" dari orang tua, dapat membentuk karakter anak di kemudian hari?
Pertanyaan seperti itu sah-sah saja. Mengingat bahwa dongeng itu juga memberikan banyak pesan positif. Seperti misalnya:
- Perbuatan baik harus dibalas dengan perbuatan baik juga.
- Orang yang berbuat baik akan mendapatkan hasil yang baik juga. Sebaliknya orang yang berbuat tidak baik akan mendapatkan hukuman atas perbuatannya.
- Setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
- Sayangi kedua orang tua kita seperti mereka yang menyayangi dan merawat kita ketika kecil. Ingatlah bahwa doa mereka akan dikabulkan oleh Tuhan.
- Tuhan akan menolong orang yang mau berusaha dengan maksimal. Pada setiap masalah tentu pasti ada jalan keluarnya.
- Kebohongan dan kejahatan pasti akan terungkap dan mendapat balasannya.
- Kebenaran akan menemukan jalannya sendiri. Kebenaran pasti akan menang.
Menyimak teori sastra, folklore atau cerita rakyat adalah kisah legenda yang diceritakan secara turun-temurun di masyarakat. Tentu saja mengandung pesan moral yang bisa dipetik. Keberadaannya digolongkan dalam budaya lisan.