Saya terkadang heran melihat linimasa berita online. Entah mungkin karena saya termasuk orang 'idealis' yang realis. Atau karena ini berkat didikan 'guru' yang dulu juga mengajarinya demikian. Tak tahulah...
Berkembangnya media online,pada satu sisi ada segi positifnya. Makin banyak orang yang mau berkecimpung di dunia tulis-menulis. Pendidikan literasi jauh terasa lebih bisa berkembang.
Tapi di sisi lain, sempat meragukan pula, kemampuan menulis tadi tidak diimbangi dengan "nalar dan etika" yang baik. Jadi, ada yang hanya sekadarnya saja menulis. Asal bisa dibaca, selesai. Soal kelayakan isi, itu tak terlalu dipentingkan. Sebab, media yang menaungi para penulis itu juga memperbolehkannya.
Jadi terkadang, ada kalanya sebuah sajian berita hanya menarik dari segi judul. Namun setelah dibaca isinya, ternyata hal-hal yang remeh-temeh. Bukan sesuatu yang lebih esensial bisa memberikan penjelasan dan pencerdasan.
Dengan kata lain, karya tulis itu hanya menampilkan cerita di permukaan semata. Tidak digali lebih mendalam lagi. Sehingga dari sana ada alur cerita dan pesan positif yang bisa diberikan kepada pembaca.
Kesannya si penulis hanya sekadar membuat karya sebagai 'kewajiban'. Hanya mewartakan sebuah kabar. Sudah, itu saja Tidak menawarkan "apa" di balik pewartaan tadi.
Enak, ringan, tidak menyusahkan. Tak perlu seperti jurnalis atau wartawan 'sungguhan'. Harus pergi ke mana, mewawancarai siapa. Tak perlu 'kerja keras' untuk mendapatkan info supaya tulisan itu bisa lebih valid dan bernas. Toh, ini juga bukan kategori produk "Cek dan Ricek".
Padahal di era pandemi sekarang, kalaupun tidak bisa bertatap muka secara langsung, bisa melakukan video call.Sama saja sebenarnya. Teknologi lebih memudahkan. Bukan malah meribetkan dan memusingkan jika hendak bertemu langsung.
Keterbukaan yang Tak Menjamin Kecerdasan
Dunia media sosial (medsos) punya sisi keterbukaan pada salah satu segi. Artinya, selama seseorang punya akun, dan itu bersifat publik, maka siapa saja bisa mengaksesnya secara bebas dan 'legal'.
Di pihak lain, entah seseorang itu "mengikuti (follow)" atau tidak sebuah akun, juga bukan sebuah keharusan. Seseorang dapat saja melakukan scrolling, melihat isi status dan komentar. Kecuali akun tersebut dilakukan pengaturan "privat", lain lagi ceritanya. Ia hanya bisa dilihat secara terbatas pada orang yang telah "mengikutinya". Tidak setiap orang diperkenankan melihat dan/atau berkomentar.
Dalam hal inilah, penulis-penulis biasanya membuat berita (rangkaian cerita). Terus apa bedanya jika ternyata ada penggemar atau pengikut lain yang sudah tahu lebih dulu? Mereka (jurnalis online) ini berarti hanya sekadar mengulang hal yang sudah sama-sama diketahui bersama.
Mubazir dan tak produktif, bukan? Tapi... kenyataan 'pahit' itulah yang kini nge-trend,merambah dan mewabah di sejumlah dunia media jurnalistik (khususnya dalam kolom hiburan, gosip, entertainment dan istilah lain sejenis). Bahkan termasuk media yang sudah punya nama besar sekalipun pada salah satu kanal khusus yang mewadahinya.
Ah, ngapain dipikir juga, ya...? Bisa membuat 'sakit hati' karena 'tertipu' model pemberitaan demikian. Tapi yang lebih kasihan adalah mereka yang tanpa sadar terjebak dalam arus ini.
Ya, sudahlah.... Ikuti saja 'kata hati', pada jalan yang dianggap sudah tepat. Sebagai "penulis independen", tetaplah "mewartakan kabar" sembari menawarkan 'kabar baik'-nya pada pembaca (penggemar).
24 Februari 2021
Hendra Setiawan
*) Simak juga tulisan terkait:Â Saat Media Kena Batunya, "Rasain Loe..."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H