Ini bukan cerita jalan buntu yang lagi viral pada pertengahan Januari hingga awal Februari 2021 lalu. Ini hanya cerita tentang gang-gang pertolongan yang ada di kampung-kampung sekitaran tempat tinggal.
Perkampungan memang terkadang punya gang-gang atau jalan kecil alternatif. Tetapi kadang, bagi pemilik rumah yang baru, keberadaan fungsi sosial itu menjadi hilang.
Jadi, kalau dulu, penghuni lama, mereka bisa ke mana-mana menerobos jalan kecil yang lebarnya mungkin hanya 1 meter. Maka sekarang hal itu tidak bisa dilakukan lagi. Mau tak mau harus memutar jalan yang memang sesuai fungsinya sebagai jalan pada umumnya. Â Bukan lagi lewat "gang pertolongan" atau "jalan tikus".
***
Nah, bagi kampung yang punya jalan kecil sebagai jalan penghubung dari satu jalan besar ke jalan besar lainnya, ini terkadang membahagiakan, tapi juga kadang menjengkelkan. Terutama bagi pemilik rumah yang berada persis pada lokasi yang dilewati.
Enaknya, karena fungsinya sebagai jalan alternatif, kalau punya gawe, ijinnya tak terlalu ribet. Paling ke tetangga kiri kanan dan pengurus RT. Beda tempatnya di jalan utama, urusannya bisa sampai ke kelurahan dan polsek segala.
Tidak enaknya adalah ketika jalan besar alias jalan utama terjadi kemacetan, maka jalan alternatif ini menjadi bising oleh kendaraan yang lalu-lalang. Mau ditutup, juga kasihan pada pemotor yang lewat. Tapi tidak ditutup, suara kendaraan mereka menimbulkan kebisingan, Â jadi berisik.
Terkadang kalau ada pengendara motor diperingatkan untuk pelan atau mematikan mesin kendaraannya, seperti malah mau mengajak ribut. Apalagi buat pengendara yang merasa sebagai cucu dari pemilik jalan. "Dalane mbah-mu dewe yo..." Jalannya kakek/nenekmu sendiri, apa?! Kalau ungkapan tadi diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.
***
Menghadapi orang-orang yang pengertian, penurut, itu enak. Diberitahu yang baik, mereka  akan menerima. Misalnya. "Mbak, Bu, Mas, Pak, jalannya ditutup !"
Makudnya, jalan alternatifnya tidak bisa dilewati hari itu. Silakan cari jalan lain saja. Biasanya ada yang langsung putar balik, tanpa banyak tanya. Ada juga yang kepingin tahu. "Ada apa?"
Lalu ada penjelasan ringkas, sedang ada kegiatan warga (punya hajat), atau jalannya sedang diperbaiki (di-cor, dibongkar paving-nya, dan lain-lain).
Justru sebagai warga yang punya maksud baik, mendapatkan pengendara yang 'ngeyel-an', kalau diberitahu jalannya ditutup tapi malah nekat melintas karena tidak percaya, itu yang malah bikin emosi. Salah ya, sebenarnya?
Ya, sudah. Kadang dibiarkan saja kalau ada yang seperti itu. Toh kalau terjebak, dia akan balik kucing. "Rasain... Kapok...!" Tinggal mencaci saja. Puas dan lega rasanya bagi warga bisa memarahi orang yang tak dikenal itu, hehe....
***
Anak-anak kecil yang cenderung polos dan jujur. Mereka ini terkadang menjadi senjata utama menghadapi orang-orang yang cenderung tidak mau mendengar anjuran kebaikan. "Tutuppp..." serempak ala koor.
Kalau masih ngeyel  juga, siap-siap dapat suara paduan suara mereka, "Huuuu....."  Malu kan ya, sambil putar balik diitertawai anak-anak kecil.
Ya, begitulah potret kehidupan sosial sekarang. Tata krama dan penerimaan anjuran baik, terkadang harus melalui paksaan dan teguran langsung agar aturan lebih mudah ditaati.
 18 Februari 2021
Hendra Setiawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H