Mohon tunggu...
hendra setiawan
hendra setiawan Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar Kehidupan. Penyuka Keindahan (Alam dan Ciptaan).

Merekam keindahan untuk kenangan. Menuliskan harapan buat warisan. Membingkai peristiwa untuk menemukan makna. VERBA VOLANT, SCRIPTA MANENT.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Jurnalistik; Ilmu Meramu Segala Ilmu

9 Februari 2021   19:09 Diperbarui: 9 Februari 2021   19:17 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pameran media dalam rangka Hari Pers Nasional 2019 di Surabaya (dok.pribadi)

Orang awam kebanyakan memahami profesi wartawan atau jurnalis adalah orang yang mencari berita lalu menuliskannya atau melaporkan hasil liputannya kepada media tempat ia bekerja. Anggapan ini tidak salah karena aktivitas itulah yang memang tampak terlihat.

Maka, tak heran, kalau ada orang yang ditanya-tanya, ia nanti berganti tanya. "Kapan dimuat atau ditayangkan?"


***

Saya baru menyadari kalau jurnalistik tidak semudah itu. Mencari data, mencari sumber berita, kemudian mengolahnya menjadi tulisan untuk media cetak, suara (kalau di radio) atau visual (kalau di televisi). Memang hasil dari investigasinya berbeda rupa di akhir, tetapi ada satu bagian yang tidak terlewatkan, yaitu menulis.

Berbahagialah untuk setiap orang yang pernah mengikuti aktivitas "pers" di sekolah atau di kampus atau juga di organisasi manapun; baik itu bersifat umum ataupun lembaga keagamaan.

Di sekolah, mengikuti pers, berarti belajar cara berorganisasi. Di kampus, bisa belajar soal idealisme dan realitas yang ada. Di organisasi umum, belajar bersosialisasi kemasyarakatan. Di institusi keagamaan, belajar lebih empati pada umat.


***

Semula dalam bayangan, kalau ikut magang atau bekerja di sebuah media, maka cukuplah bekal pengetahuan mengenai isu yang akan diangkat. Juga bagaimana nanti cara menulis dan menuangkan hasil karya itu dalam sebuah media yang dibaca publik. Hal-hal apa yang perlu ditampilkan, mana yang cukup untuk diketahui redaksi, dan mana yang untuk diri sendiri saja.

Namun bayangan sederhana selama ini sirna seketika. Saat itu ada ada peristiwa kecelakaan massal di Trawas yang menimpa pemuda gereja dari berbagai wilayah kota di Jombang dan Mojokerto, usai  melakukan kegiatan bersama (outbound). Kejadian ini terjadi pada pada Agustus 2011 (sumber) silam. Dari 150 orang peserta itu, akhirnya beberapa di antaranya (10) meningggal, dan puluhan (43) yang lain luka berat, sedang,dan ringan.

Trauma Healing, demikian bentuk kegiatan yang diadakan waktu itu. Tujuannya memberi bekal kepada para penyintas atau survivor (orang yang bertahan selamat) atau orang lain yang ikut serta menjadi relawan pendamping.

Pelatihan diberikan guna membantu pemulihan mental dan kejiwaan bagi korban pasca kejadian. Juga kepada anggota keluarga lain yang anak-anaknya turut menjadi korban.

Memang, ini bukan diklat jurnalistik. Tetapi dari situlah, sudut pandang jurnalistik terasa besar manfaatnya. Tergambar bagaimana mestinya seorang 'pendamping' membekali dirinya pada sebuah kenyataan yang bernama solidaritas dan empati. Sama halnya dengan tugas seorang jurnalis yang baik.

Coba bandingkan ketika melihat tayangan TV, baik live (siaran langsung) atau rekaman (siaran tunda). Kadang bikin 'gemas' (kesal dan geregetan) saja tatkala ada wartawan yang bertanya tanpa rasa berdosa kepada keluarga korban yang anggotanya meninggal. "Bapak/Ibu, bagaimana rasanya (bla-bla-bla) ..."

Wah, rasanya ingin menonjok muka orang yang bertanya. "Kok bisa-bisanya 'tega' bertanya seperti itu?!"

Coba bayangkan rasanya ketika pertanyaan itu ditujukan kepada si penanya. Sebuah pertanyaan yang serupa. Bukankah itu hal yang konyol adanya?

Masih lebih mending (baik), jika melihat dalam siaran itu, si wartawan sebelumnya turut mengutarakan rasa berdukacita untuk peristiwa yang dialami sumber berita tersebut. Lantas, barulah ia bertanya bagaimana duduk perkara, awal mula kejadian. "Bagaimana sih si korban bisa berkenalan dengan pelaku?  Sejauh mana kedekatan mereka? Apa yang Bapak/Ibu tahu dari mereka itu?"

***

Pers Indonesia sepertinya belum sepenuhnya mengarah pada narasi empati seperti itu. Apalagi  media yang cuma mengedepankan sisi bisnis semata-mata.

Coba saja flashback; tengok peristiwa pengeboman yang terjadi di banyak tempat, baik yang umum atau kepada kelompok agama. Ulasan berita kepada keluarga korban lebih sedikit dibandingkan dengan objek pelaku.

Media akan berusaha penuh mengorek keterangan siapa dia, keluarganya, masa kecilnya, hingga riwayat organisasi yang dia ikuti. Tetapi luka dan duka di pihak korban, yang semestinya juga mendapat perhatian, jadi kalah santer porsinya. Informasinya lebih sedikit.

Jurnalis, jurnalistik. Saya tak ada pendidikan formal di dalamnya. Hanya belajar secara otodidak dan melalui media yang sifatnya internal semata.

Walaupun media-nya sendiri kini sudah tiada lagi, tapi pengalaman yang tak terlalu panjang itu ikut menempa mata batin. Semoga ini juga bisa jadi pelajaran kepada jurnalis 'murni' untuk tidak hanya mengejar 'tugas liputan kantor', tapi juga bisa berempati dan membangkitkan semangat. Tidak saja kepada narasumber, namun juga kepada khalayak pembaca.

Salah satu sesi acara dalam Hari Pers Nasional di Surabaya 2019 (dok. pribadi)
Salah satu sesi acara dalam Hari Pers Nasional di Surabaya 2019 (dok. pribadi)
9 Februari 2021, Hari Pers Nasional

Hendra Setiawan

*) Salam hormat dan penuh cinta untuk semua rekan alumni dan pembaca dan narasumber eks Majalah DUTA

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun