Memang, ini bukan diklat jurnalistik. Tetapi dari situlah, sudut pandang jurnalistik terasa besar manfaatnya. Tergambar bagaimana mestinya seorang 'pendamping' membekali dirinya pada sebuah kenyataan yang bernama solidaritas dan empati. Sama halnya dengan tugas seorang jurnalis yang baik.
Coba bandingkan ketika melihat tayangan TV, baik live (siaran langsung) atau rekaman (siaran tunda). Kadang bikin 'gemas' (kesal dan geregetan) saja tatkala ada wartawan yang bertanya tanpa rasa berdosa kepada keluarga korban yang anggotanya meninggal. "Bapak/Ibu, bagaimana rasanya (bla-bla-bla) ..."
Wah, rasanya ingin menonjok muka orang yang bertanya. "Kok bisa-bisanya 'tega' bertanya seperti itu?!"
Coba bayangkan rasanya ketika pertanyaan itu ditujukan kepada si penanya. Sebuah pertanyaan yang serupa. Bukankah itu hal yang konyol adanya?
Masih lebih mending (baik), jika melihat dalam siaran itu, si wartawan sebelumnya turut mengutarakan rasa berdukacita untuk peristiwa yang dialami sumber berita tersebut. Lantas, barulah ia bertanya bagaimana duduk perkara, awal mula kejadian. "Bagaimana sih si korban bisa berkenalan dengan pelaku?  Sejauh mana kedekatan mereka? Apa yang Bapak/Ibu tahu dari mereka itu?"
***
Pers Indonesia sepertinya belum sepenuhnya mengarah pada narasi empati seperti itu. Apalagi  media yang cuma mengedepankan sisi bisnis semata-mata.
Coba saja flashback; tengok peristiwa pengeboman yang terjadi di banyak tempat, baik yang umum atau kepada kelompok agama. Ulasan berita kepada keluarga korban lebih sedikit dibandingkan dengan objek pelaku.
Media akan berusaha penuh mengorek keterangan siapa dia, keluarganya, masa kecilnya, hingga riwayat organisasi yang dia ikuti. Tetapi luka dan duka di pihak korban, yang semestinya juga mendapat perhatian, jadi kalah santer porsinya. Informasinya lebih sedikit.
Jurnalis, jurnalistik. Saya tak ada pendidikan formal di dalamnya. Hanya belajar secara otodidak dan melalui media yang sifatnya internal semata.
Walaupun media-nya sendiri kini sudah tiada lagi, tapi pengalaman yang tak terlalu panjang itu ikut menempa mata batin. Semoga ini juga bisa jadi pelajaran kepada jurnalis 'murni' untuk tidak hanya mengejar 'tugas liputan kantor', tapi juga bisa berempati dan membangkitkan semangat. Tidak saja kepada narasumber, namun juga kepada khalayak pembaca.