"Menulis itu seni membaca, melihat, mendengar, dan merasakan"
 Quote di atas, itu adalah kata saya, hahaha....
Pelajaran pertama ikut kelas pendidikan dan latihan (diklat) jurnalistik adalah ketika lepas dari SMA, baru masuk kuliah. Maklum semangat muda, ingin ikut saja. Walaupun di awal ada rasa bimbang. "Waduh, bagaimana nanti praktik menulisnya, ya?"
Maka demikianlah yang terjadi. Salah satu narasumber memberikan tugas terlebih dahulu kepada calon peserta untuk membuat sebuah tulisan. Bentuk, model, terserah. Panjang, pendek, tak masalah. Jelasnya, ini syarat wajib.
"Yaelah... Belum apa-apa sudah praktik, teori saja belum..."
Ya sudah, sebisanya. Semua peserta akhirnya membawa hasil karyanya sendiri. Tulisan tangan semua waktu itu.
Simpel saja sebenarnya tugas itu. Tulisan berupa surat kepada kawan yang ada di luar kota. Disuruh menceritakan kabar kotanya sendiri. Anggap saja, sang kawan yang hendak dikirimi surat tadi bisa tahu dengan membaca tulisan itu.
*** Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Dulu belum ada internet yang dalam genggaman tangan. Pemiliknya masih terbatas pada kantor dan institusi tertentu. Bagi masyarakat umum, akses berita termudah dan minim biaya cuma sekitar media cetak, radio, TV.
Sekarang, gampang. Tak usah bertanya, tinggal cari informasi apa saja di internet, beres. Ada banyak cerita yang bisa diketemukan di seluruh pelosok negeri dan dunia. Asal ada yang memberitakannya. Tinggal cari dengan kata kunci yang dimaksud.
***
Nah, jadi bagaimana peserta dapat menulis surat dengan menceritakan segala macam tetek bengek, hal ikhwal sebuah kota kepada orang lain yang tempat tinggalnya tidak sama. Kalau punya banyak pengetahuan dan pengalaman, mungkin mudah saja menceritakannya. Sebaliknya, jika minim, kesusahan  juga pada akhirnya.
Dan begitulah kisah ini dimulai. Walaupun tugasnya sepertinya mudah, namun banyak hal yang bisa dipelajari.
***
Menulis itu sama juga dengan bercerita. Cerita dari hal yang pernah dilihat. Cerita dari hal yang pernah didengar. Cerita dari hal yang pernah dirasakan. Dan, tentunya yang tak ketinggalan adalah cerita dari hal yang berasal dari membaca.
Membaca adalah kunci informasi yang didapatkan. Melihat, mendengar, dan merasakan adalah pengalaman. Perpaduan antara semuanya itu, yang pada akhirnya seseorang bisa menuangkan gagasan (ide) atau opini (tanggapan, komentar) ke dalam sebuah tulisan. Tulisan yang bernas, bukan sambil lalu atau omong kosong,
***
"Oww... ternyata begitu pelajarannya."
Menarik juga....
"Lha, terus, untuk menulis yang baik, apa mesti ikut kelas menulis, kursus atau diklat kepenulisan?"
Tidak harus juga sebenarnya. Bukan sebuah kewajiban yang mutlak dan harus dipenuhi. Tetapi kalau untuk meningkatkan pengetahuan dan menimba pengalaman dari yang sudah berpengalaman, ya tidak ada larangan.
Meskipun sebenarnya tiap orang bisa menulis, tapi toh masih sering juga ditemui penggunaan tanda baca, tata bahasa yang kacau. Hal-hal sederhana yang sebenarnya gagasan si penulis maksudnya baik. Tapi karena cara menulisnya yang susah dimengerti, jadinya tak banyak guna.
Begitulah dulu serpihan kisah dari penulis pemula yang nekat. Yang penting niat dan semangat... Â :)
Begitu dulu cerita sambil lalu di hari ini. Mudah-mudahan berguna dan esok kita sambung lagi cerita-cerita ringan dari balik layar, hehe....
Â
 2 Februari 2021
  Hendra Setiawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H