"Wanita diciptakan dari tulang rusuk pria,
bukan dari kepalanya untuk jadi atasannya,
bukan pula dari kaki untuk dijadikan alasnya,
melainkan dari sisinya untuk jadi teman hidupnya,
dekat dengan lengan untuk dilindungi
dan dekat dengan hatinya untuk dicintai."
Laki-laki dan perempuan itu sepadan. Demikian pesan tersurat dari puisi karya Kahlil Gibran. Karya terjemahan ini ada beragam versi dalam bahasa Indonesia. Versi lain menuliskan seperti di bawah ini. Terjemahannya lebih saya suka.
"Wanita diciptakan bukan dari tulang kepala, hingga ia boleh semena-mena;
bukan pula dari tulang kaki, hingga ia bisa dijadikan alas kaki.
Wanita tercipta dari tulang rusuk pria, agar sama sederajat;
tak jauh dari kedua tangan, agar selalu mendapat lindungan;
dan begitu dekat dengan hati, agar tetap dikasihi."
 Wanita Sekadar Objek?
Sudah pernah melihat deretan ilustrasi gambar berita seperti di atas, yang pelanggarannya sama namun lokasi kejadiannya berbeda. Atau juga pada gambar di bawah ini, yang lokasinya juga berbeda, pelanggarannya sama. Pelanggar aturan 'masker' sama-sama menjalani hukuman.
Rasanya agak menyesakkan. Antara marah, kecewa dan sedih. Bagaimana tidak, cara memperlakukan wanita kok seperti itu?
Kalaupun toh memang mereka itu dianggap salah, ya salah. Tapi paling tidak juga menjaga diri dan hati. Perlakukan dia sebagaimana mestinya.
Memang namanya peraturan juga tetaplah peraturan. Terlepas dari aturan itu secara norma hukum, prosedur penyusunan dan materinya tidak tepat. Selalu ada pro dan kontra di dalamnya.
Dalam banyak kasus pelanggaran penggunaan 'masker' di banyak wilayah di Indonesia, perilaku petugas lapangan yang berkaitan langsung dengan pelanggar, memang ada satu-dua yang tidak tepat.
Seenak petugas di lapangan, mau menghukum orang seperti apa. Mau disuruh menyanyi, joged-joged, menyapu jalan, menggantikan petugas untuk menyemprot desinfektan, dan lainnya.
***
Nah, dalam konteks pembahasan tulisan ini, sebagaimana yang bisa dibaca dari cuplikan tangkapan layar tersebut, terkesan memang "wanita dalam berita" jadi pihak yang dihukum dua kali. Dalam kenyataan dan dalam tayangan pemberitaan.
Secara nyata ia sudah dihukum dan sudah melaksanakan sanksi yang diberikan. Tapi dengan makin luasnya pemberitaan, maka ia pun mendapatkan tambahan lagi berupa sanksi secara moral di dunia maya.
Beredarnya video yang motif awalnya mungkin hanya sekadar menunjukkan ketegasan petugas, namun jika ditelaah lebih jauh, justru sebaliknya yang terjadi. Komentar dalam video lebih membuat miris hati. Suara penyerta yang juga muncul dalam rekaman video viral, terkesan bersifat merendahkan diri si wanita.Â
***
Belum lagi 'ulah' media yang ikut-ikutan memberitakan. Tambah parah lagi. Kenapa harus ditambah kata "cantik", lho... Apa karena itu kata sakti yang bisa 'menjual' nilai berita?
Media tulis seakan gemar sekali memanfaatkan kata ini. Objek wanita, apalagi kalau parasnya cantik, dia akan diburu. Jadi bahan penulisan dan pemberitaan.
Media televisi juga begitu. Malah yang tak tahu informasi semacam itu, seperti ingin ditunjukkan. Berbagi objek derita bagi pelaku yang menjalani hukuman. "Tuh, di internet lagi ramai. Kalian sudah pada tau belum? Ini lho, kutunjukkan, yang seperti ini. Kalau pengin tau, kalian bisa cari sendiri ya.. "
Ampun deh... Masa depan media kalau terus-terusan seperti ini. Apalagi kanal yang menyediakan tumbuhnya warta warga alias citizen jornalism.
Enak, duduk manis. Pantengin facebook, instagram, twitter. Cari kode, kata kunci yang lagi trend dan viral. Atau kalau belum nemu yang baru, buat konten sendiri saja. Bisa dari satu akun atau beberapa digabungkan. Lihat tema yang mau diangkat. Misalnya soal mode pakaian (OOTD), foto bangun tidur, makan, pelisir, dan semacamnya.
***
Cobalah bayangkan sekarang, jika objek berita itu adalah ibumu, saudara perempuanmu, istrinu, pacarmu, sohibmu, atau siapapun wanita yang ada pada lingkaran hubungan sosial dan kekerabatan yang terdekat.
Beberapa hari belakangan, kata "toleransi" menyeruak ke permukaan. Salah satunya dipicu oleh kasus seragam jilbab yang dilakukan oleh sekolah negeri di Padang.Â
Mengambil kata yang sama, toleransi menurut UNESCO dalam deklarasi Principles on Tolerance and Follow up Plan of Action for the Year 1993 menegaskan prinsip dasar yang tidak sebatas pada hubungan antar manusia yang berbeda ras, budaya, suku bangsa, agama yang berlainan. Tapi juga pada hubungan lawan jenis. Antara posisi atau kedudukan laki dan perempuan dalam hidup bersama di bumi yang sama.
Toleransi lebih dari sekadar berpangku tangan atau tetap tidak peka terhadap perbedaan antara laki-laki dan perempuan, budaya dan kepercayaan,
"Toleransi adalah bentuk penghormatan dan penghargaan terhadap keragaman budaya dunia kita yang beragam. Selain itu adalah cara ekspresi kita dan cara kita menjadi manusia."
Sudahkah kita memanusiakan orang lain (wanita)?
                     Â
 Hendra Setiawan
30-01-2021
*) Sebelumnya, tulisan dalam bentuk puisi:Â Bunga dan Wanita
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H