Pembacaan draft alias rancangan tertulis jika tidak mempelajari sendiri secara lengkap, bisa menjadi bias pemahaman. Sebab yang dipidana adalah mereka yang nyata-nyata mengganggu ketertiban umum. Pemidanaan ini  juga tak lagi secara badani, hanya denda semata.
Pemahaman yang sepenggal memang bisa jadi blunder. Apalagi jika tak tahu "naskah akademis" (draft akademic) yang ada. Akibatnya, bisa menafsir di luar konteks.
Kalau toh, misalnya, dengan membiarkan pasal-pasal RKUHP bermasalah tetap ada, dan DPR tetap nekat meloloskannya menjadi UU (KUHP), apakah aturan baru lantas langsung berlaku begitu saja?
Tidak ferguso.... Proses pemberlakuannya tidak semudah itu. Dalam keadaan normal, Presiden akan memberikan persetujuannya terlebih dahulu. Ada kesepakatan dua pihak. Ia akan membubuhkan tanda tangannya. Baru kemudian UU baru itu diberi penomoran dan dimasukkan dalam Lembaran Negara dan Tambahan Lembaran Negara (LN untuk isi dan TLN untuk penjelasan UU) untuk pengundangannya.
Secara khusus, Pasal 628 RKUHP menerangkan, pemberlakuan KUHP ini baru akan berlaku 2 tahun setelah disahkan. Masih ada celah untuk melakukan perubahan, perbaikan, atau pembatalannya. Antara lain  melalui judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Atau bisa juga menjadi hak konstitusional Presiden mengeluarkan Perppu (Peraturan Pemerintah pengganti UU) pembatalannya. Tapi kalau ini terjadi, kan hanya soal tarik ulur kepentingan antara DPR dan Pemerintah; jika dalam pembuatan UU tersebut terjadi hal yang tidak 'normal'.
Konsep Lama
RKUHP yang di-blow up sedemikian rupa sehingga santer harus dibatalkan pengesahannya, sebenarnya bukanlah barang baru sama sekali. Konsep awalnya sudah dimulai sejak 1963. Nah, lho, sudah pada lahir belum, hehe....
Ringkas perjalanannya demikian. Â Gagasan untuk melahirkan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) versi Nasional, dimulai ketika diselenggarakan Seminar Hukum Nasional I di Semarang tahun 1963.
Setahun kemudian (1964) terbentuk tim perumus RKUHP yang diketuai pakar hukum Universitas Diponegoro, Prof. Soedarto. Tim beranggota sejumlah pakar hukum terkemuka Indonesia. Mereka, antara lain, Prof. Roeslan Saleh (Universitas Gajah Mada), Prof. Moeljanto, Prof. Satochid Kartanegara, Â Prof Oemar Seno Adji (pakar hukum Universitas Indonesia, yang kemudian menjadi Ketua Mahkamah Agung), juga Prof. J.E. Sahetapy dari Universitas Airlangga.
Bagi yang pernah belajar hukum, pasti tahu nama-nama mereka. Lalu, beberapa tahun kemudian, anggota tim ditambah. Antara lain, dengan melibatkan  Prof. Mardjono Reksodiputro, Karlinah Soebroto, Andi Hamzah, Muladi, Barda Nawawi, Bagir Manan. Soedarto memimpin tim hingga ia wafat pada 1986 dan kemudian digantikan Roeslan Saleh.
Pada saat Ismail Saleh menjadi Menteri Kehakiman, ia meminta tim untuk segera menyelesaikan penyusunan RKUHP ini. Ismail dan Sunarjati Hartono  -Ketua Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN)- terus mengawal penyusunan RKUHP tersebut.