Hingga kemarin, Minggu, 27 Mei 2018, dua pekan pasca teror bom di Surabaya, rumah-rumah ibadah masih mendapat perhatian serius. Tidak saja dijaga petugas keamanan, tapi sempat juga jalan raya penghubung ditutup sementara.
Ya, sepertinya Surabaya tidak ingin kecolongan lagi. Hingga pengamanan dilakukan secara berlapis. Tergantung dari jumlah jemaat dan lokasinya.
Tiga minggu berlalu, tapi suasana jalanan tidak seperti biasanya. Paling tidak, sisi baiknya, mengurangi efek polusi udara dan suara. Tidak lagi jenuh dengan kemacetan yang melanda. Bisa jadi, ditambah pula karena memasuki bulan puasa.
Kilas Balik
Hari H teror bom di 3 gereja yang merenggut nyawa, saya ikut rombongan kunjungan ke luar kota. Sama, waktu itu juga pas mengikuti ibadah Minggu. Tapi, anggota yang berasal dari gereja yang mengalami teror dan menceritakannya, sontak membuat bubar konsentrasi. "Tiga gereja di Surabaya di-bom."
Jujur saja, selama ini, Surabaya merupakan salah satu kota yang paling harmonis dan damai. Jadi, bayangan teror bom, apalagi dilakukan oleh warga Surabaya sendiri, sangat jauh akal sehat.
Memang pernah terjadi, 9 Juni 1996, peristiwa perusakan 10 gereja di Surabaya Utara. Minggu Kelabu itu dilakukan oleh para pendatang yang terorganisir. Tapi ini...?
***
Selang sehari setelah itu, pembicaraan di transportasi umum, Â masih tentang aksi memilukan ini. "Otaknya di mana mereka itu?"
Sopir yang ada di bangku depan, penumpang yang di bagian belakang. Masing-masing bercerita tentang pendapat dan pengalamannya.
"Waktu itu saya di pasar Pucang, tiba-tiba terdengar booomm... Saya kira apa? Bom itu. Bukan, Bu... Kami para ibu yang lagi berbelanja beradu argumen sendiri soal bunyi itu. tiba di rumah, nonton TV, ternyata benar: bom. Saya langsung lemas," kisah seorang ibu pada kami, para penumpang.
Pasar Pucang dan lokasi dari GK. SMTB di jalan Ngagel Madya kurang lebih 1-5 hingga 2 km. Jadi, ya memang efek ledakannya begitu dahsyat.
Ini seakan menegaskan kesaksian dari salah satu penjual es jeruk yang biasa mangkal di dekat gereja. Di siaran TV lokal sore itu, ia mengaku sempat terlempar hingga 15 meteran. Bahkan yang lebih horor lagi, potongan tubuh yang terlempar.
Ah... benar-benar mengerikan jika mendengar tuturan para saksi mata ini.
Sama seperti kota besar lain, barangkali ini juga dapat menjadi pelajaran berharga. Kadang kita perlu waspada terhadap siapapun yang perilakunya dinilai tidak wajar. Sebab, kebanyakan kini kita menjadi acuh dengan para tetangga, para pendatang. Sifat saling perhatian dan saling menjaga warisan leluhur, sudah mulai banyak ditinggalkan. Jadi, teroris itu bisa saja muncul dari manapun. Ia bisa bisa menyaru menjadi apa saja di sekitar kita.
Gerak cepat pun segera berlangsung menyikapi kejadian ini. Selain aksi lilin di kawasan Tugu Pahlawan, juga spanduk-spanduk 'perlawanan' khas arek Suroboyo.
"Surabaya Melawan Teroris, Kami Tidak Takut, Â Kita Bersama, Â Suroboyo Wani, Iki Suroboyo Cuk, Pray for Surabaya" dan sebagainya, menjalar liar tanpa komando. Tagar di media sosial (medsos) dan heroisme lewat spanduk ini adalah sebagian kecil ungkapan dari wujud kecintaan arek-arek Suroboyo.
Kami bersama. Â Kami satu nyali: WANI untuk melawanmu. Â #KamiTidakTakut, Â #LawanTerorisme. Ini kota kami. Â Kota yang kami cintai dan banggakan. Â Siapapun yang mencoba memporak-porandakan keharmonisan ini, Â bersiaplah untuk angkat kaki.
Kami tak mau negeri kami jadi kacau balau. Â Kami cinta republik ini. Â Kami tak bisa kau pecah belah dengan isu SARA.Â
Terorisme adalah musuh bersama kita. Surabaya bersatu, Â menolak radikalisme hidup di negeri ini. Kami, Â arek Suroboyo, Â mendukung sepenuhnya upaya pihak yang berwenang untuk menghentikan setiap aksi yang hendak memecah belah kedamaian NKRI.
Bulan Mei, semestinya menjad hari-hari yang menggembirakan bagi warga kota Surabaya. Setelah mengadakan Surabaya Vaganza (6 Mei) --nama baru dari Pawai Bunga dan Parade Budaya- harusnya di hari Minggu sesudahnya (13 Mei) ada Festival Rujak Uleg (FRU).
Walikota Surabaya yang karena ada kunjungan ke luar negeri sebagai keynote speaker, acara FRU ditunda siang dari jadwal pagi. Meledaknya bom di Minggu pagi, FRU yang sudah dipersiapkan beberapa lama, akhirnya batal pula digelar. Â Daripada taruhan nyawa lagi.
Tanpa diduga, Senin (14 Mei) kembali bom meledak. Kali ini di Mapolresta Surabaya. Tentu L-1, bu Risma yang tidak tenang. Ya, Â Surabaya, kota aman dan nyaman, Â hijau dan asri yang dibanggakan. Â Tetiba saja seperti adai api dalam sekam. Â Menyala dan membakar. "Tetap tenang wargaku. Kita berdoa, Â semoga Surabaya kembali aman dan damai seperti semula," tegasnya.
Terima kasih untuk setiap orang yang gagah berani menjaga kota ini. Â Surabaya memang kotanya para pahlawan. Salam damai selalu. Tuhan memberkati...
Â
*) Â catatan yang terserak; dibuang sayang
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H