Hari Minggu lalu (11/12/2016) saat mudik dengan KA (Kereta Api), saya membayangkan situasi kebangsaan itu sama dengan yang saya alami kala itu. Situasi dan kondisi kebhinnekaan kita, sepertinya sama persis ketika kita juga membandingkannya dengan moda angkutan darat lain: bus.
Seperti kebanyakan masyarakat Indonesia yang mayoritas kelas menengah ke bawah, maka kelasnya adalah kelas ekonomi, bukan bisnis atau eksekutif. Sebab di kelas itu masih ada kenyamananan (previlege). Interaksi sosialnya tak terlalu terasa.
***
Persoalan intoleransi di tanah air kita yang melambung beberapa pekan, bulan, atau tahun-tahun belakangan ini bisa dianalogikan pada orang atau massa yang sedang menumpang bus. Sebagaimana kita tahu, seat (tempat duduk) ada yang untuk dua atau tiga penumpang. Kita hanya bisa melihat saja (menjadi penonton, pengamat) siapa yang ada di depan atau belakang tempat duduk kita. Kita cuma bisa bercakap ataupun berbagi dengan siapa yang ada di sebelah kita. Titik. Tidak ada yang lain.
Maka begitu juga dengan orang-orang yang hidupnya sangat eksklusif. Mereka hanya berinteraksi dengan orang-orang yang segolongan, seagama, sekeyakinan. Memang, sangat aman dan nyaman. Tetapi pergaulan sosial menjadi terbatas. Pun demikian dengan pengetahuan yang dimiliki. Hanya bersumber dari lingkungan yang sama, dan itu-itu saja informasi yang diterima.
Kita baru bisa mendapatkan hal-hal yang baru, apabila kita mau keluar dari zona kenyamanan tempat duduk semula. Berdiri dan melangkah keluar dari kursi semula. Rasanya memang tidak mengenakkan, berdiri, jadi capek. Tapi pergerakan kita agak longgar. Mata kita bisa melihat pada sudut pandang yang lebih beragam.
Pertemanan dengan orang yang berlainan keyakinan, sedikit banyak akan memberikan paradigma yang lebih positif. Dengan semakin mengenalnya, sekat-sekat praduga buruk, prasangka negatif sedikit demi sedikit bisa sirna. “Untuk apa mempertentangkan perbedaan kalau bisa berjalan bersama?”
Keramahan Alami
Kembali pada kisah di KA tadi. Soal atribut keagamaan, rasanya kini semakin mudah untuk ditemukan. Kalau teman-teman muslim, yang khas dari laki-laki adalah dengan bersarung dan menggunakan peci. Anak-anak pondokan (ponpes) yang gampang dijumpai. Sementara yang perempuan dengan memakai jilbab (muda-dewasa) atau kerudung (dewasa-tua).
Kalau teman-teman Katolik biasanya lebih terbuka dengan pengenaan kalung salib. Kebanyakan pada yang perempuan. Sementara pada teman-teman Kristen (Protestan) yang mungkin agak kesulitan untuk mendeteksi. Paling gampangnya dengan melihat pakaian yang sedang dikenakan. Kaos-kaos berlogo organisasi atau bertuliskan ayat Alkitab atau gambar beserta tulisannya, barangkali cuma bisa dideteksi oleh komunitas yang sama.
Di KA itulah, semuanya bisa terjadi. Saya bertemu dengan mereka semua. Ada yang sendiri, ada yang berkelompok. Dan, barangkali ini juga menjadi rencana-Nya agar kisah ini bisa tertuliskan. Setidaknya menjadi inspirasi bagi kehidupan bersama di negeri yang penuh warna kemajemukan ini.
***
Di KA, pandangan kita bisa jauh lebih luas lagi. Kita bisa berjalan-jalan ke mana saja. Kita bisa mengamati beragam karakter para penumpang. Melihat wajah-wajah mereka dari yang balita hingga yang manula. Dari yang ramah hingga yang sebaliknya.
Di KA, kita bisa bercakap-cakap, saling menatap wajah minimal 4-6 orang yang ada di samping, di depan, dan di seberang kita. Di situ kita bisa saling berinteraksi dan saling berbagi. Walaupun mungkin minimal basa-basi, “Permisi, kosong ya. Tempat duduk saja di nomer ini. Mau ke mana?” Atau kalau lagi membawa jajanan/makan/permen, berkata, “Mari silakan....”
Dalam sederet tempat duduk tempat saya berada itulah, saya bisa melihat dan merasakan “Indonesia kecil” di dalamnya. Orang-orang yang senantiasa menunjukkan wajah keramahan dan ketulusan dalam hati. Senyum dan sapa, wajah-wajah yang penuh gembira dengan keapa-adaannya.
Tapi, ya memang tidak setiap saat hal ini bisa ditemui dan dirasakan. Bertemu dengan orang-orang seperjalanan yang ‘cocok/klop’ sebagai teman pembunuh waktu dan pelepas kepenatan.
***
Kala itu, pada kelompok pertama, hadir 4 (empat) remaja wanita usia SMA yang hendak melakukan kegiatan keagamaan di daerah Ampel Surabaya. “Mau minta barokah,” tutur salah seorang di antaranya.
Menyusul kemudian dari stasiun lain, kedatangan sekelompok muda (3 wanita dan 1 laki-laki) dari salah satu komunitas gereja Katolik. Posisi mereka duduk cuma terpisah jalan di antara deretan kursi-kursi yang telah tersedia. Sementara itu, di deretan kursi di baliknya adalah para orang tua dan anak mereka (seorang nenek, 2 ibu dan 2 balita). Sedangkan yang lain adalah rombongan keluarga dan perorangan kecil.
Meskipun terpisah jalan dan kursi tempat duduk, tetapi ada interaksi yang hidup di dalamnya. Saat ada yang membawa makanan ringan (camilan), di antara mereka tidak segan dan sungkan untuk saling menawarkan milik mereka.
Demikian pula pada saat adik-adik kecil ini spontan berjalan ke arah mereka. Tawaran membagikan jajanan itu seakan saling berlomba. “Adik mau ta?! Ayo, pilih yang mana....”
Bagaimana reaksi orang tuanya? “Diambil kalau mau. Bilang apa sama mbaknya; sama oom/tante?”
“Makasih,” sambil malu-malu mereka berkata.
“Iya, sama-sama. Adik namanya siapa?”
Begitulah seterusnya dan selanjutnya, Obrolan itu mengalir. Tidak lagi sebatas say hello. Bisa berlanjut ke banyak hal. Tujuan perjalanan dalam gerbong yang sama seakan tidak lagi menjemukan. Bisa bertemu orang baru yang mengasyikkan, serasa bertemu dengan teman baru. Seakan menemukan sahabat baru dalam perjalanan. Sebuah karunia yang jarang-jarang bisa didapatkan setiap saat.
Realitas Sosial
Dalam kehidupan nyata, pertemuan seperti itu juga kerap terjadi. Jika seseorang lahir, tumbuh, dan dibesarkan dalam suasana yang plural, penghargaan kepada sesama akan terjadi dalam sudut pandang yang lebih positif.
“Memangnya kenapa kalau punya sahabat berbeda keyakinan (agama)? Di mana salahnya? Memangnya tidak boleh berteman dengan orang yang tidak seiman?”
Berbeda halnya jika seseorang sudah didoktrina untuk hidup dalam eksklusivisme dan penuh rasa curiga. Setting orang yang tak seiman, tak sealiran adalah orang yang perlu dijauhi, menjadikan kekerdilan dalam cara berpikir dan mengambil sikap.
“Jangan dimakan, itu makanannya orang orang kafir. Najis, nggak usah dekat-dekat sama mereka. Mereka itu orang-orang sesat. Tidak usah terlalu dekat-dekat, nanti ketularan.”
***
Dalam setiap agama, saya merasa akan ada kelompok-kelompok yang punya pemikiran secara radikal seperti itu. Maka, jadinya muncul sel-sel teroris. Setengah dari radikal itu, muncul kelompok intoleran. Keduanya sama bahayanya jika terus dibiarkan berada di NKRI. Radikal menyerang secara fisik. Intoleran menyerang secara mental/pikiran (tapi arahnya juga bisa cenderung radikal).
Kelompok seperti ini, saya yakin tidak banyak. Pengaruh medialah yang membuat mereka menjadi besar. Blow up atas tindakan dan perilaku mereka, justru menjadikannya semakin pongah. Keberadaan mereka ibaratnya sebatas slilit. Mengganjal di gigi. Walaupun kecil tapi pengaruhnya amat besar. Tidak enak dirasakan. Bila keberlangsungannya jangka panjang dan terus-menerus, posisi gigi bisa menjadi tidak lagi kokoh. Zat-zat yang tertinggal bisa merusak email/enamel (lapisan terluar dari gigi yang bisa terlihat; bagian terkuat dalam tubuh manusia). Lama-lama bisa membentuk karang gigi, keropos, berlubang. Paling parah harus dicabut karena sudah merusak sampai ke bagian akar.
Perilaku-perilaku kelompok yang berperilaku demikian jutru mencoreng citra baik agama yang dimaksud. Indonesia memang negara ber-agama, tapi bukan negara agama. Religiusitas yang makin membaik, semestinya juga terkait dengan perilaku yang makin baik di antara para pemeluknya.
kereta apiku lari dengan kencang
melintas sawah, bukit, serta ladang
angin mengejar, mencoba menghalang
kereta apiku laju bagai terbang
larilah cepat hai kereta apiku
bawa ku segera ke tempat ku tuju
jika kau tampak kampung halamanku
bunyikan nyaring seruling keretamu
laju lajulah keretaku, laju lajulah keretaku
laju lajulah kereta apiku
(Kereta Apiku © AT Mahmud)
-end-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H