***
Di KA, pandangan kita bisa jauh lebih luas lagi. Kita bisa berjalan-jalan ke mana saja. Kita bisa mengamati beragam karakter para penumpang. Melihat wajah-wajah mereka dari yang balita hingga yang manula. Dari yang ramah hingga yang sebaliknya.
Di KA, kita bisa bercakap-cakap, saling menatap wajah minimal 4-6 orang yang ada di samping, di depan, dan di seberang kita. Di situ kita bisa saling berinteraksi dan saling berbagi. Walaupun mungkin minimal basa-basi, “Permisi, kosong ya. Tempat duduk saja di nomer ini. Mau ke mana?” Atau kalau lagi membawa jajanan/makan/permen, berkata, “Mari silakan....”
Dalam sederet tempat duduk tempat saya berada itulah, saya bisa melihat dan merasakan “Indonesia kecil” di dalamnya. Orang-orang yang senantiasa menunjukkan wajah keramahan dan ketulusan dalam hati. Senyum dan sapa, wajah-wajah yang penuh gembira dengan keapa-adaannya.
Tapi, ya memang tidak setiap saat hal ini bisa ditemui dan dirasakan. Bertemu dengan orang-orang seperjalanan yang ‘cocok/klop’ sebagai teman pembunuh waktu dan pelepas kepenatan.
***
Kala itu, pada kelompok pertama, hadir 4 (empat) remaja wanita usia SMA yang hendak melakukan kegiatan keagamaan di daerah Ampel Surabaya. “Mau minta barokah,” tutur salah seorang di antaranya.
Menyusul kemudian dari stasiun lain, kedatangan sekelompok muda (3 wanita dan 1 laki-laki) dari salah satu komunitas gereja Katolik. Posisi mereka duduk cuma terpisah jalan di antara deretan kursi-kursi yang telah tersedia. Sementara itu, di deretan kursi di baliknya adalah para orang tua dan anak mereka (seorang nenek, 2 ibu dan 2 balita). Sedangkan yang lain adalah rombongan keluarga dan perorangan kecil.
Meskipun terpisah jalan dan kursi tempat duduk, tetapi ada interaksi yang hidup di dalamnya. Saat ada yang membawa makanan ringan (camilan), di antara mereka tidak segan dan sungkan untuk saling menawarkan milik mereka.
Demikian pula pada saat adik-adik kecil ini spontan berjalan ke arah mereka. Tawaran membagikan jajanan itu seakan saling berlomba. “Adik mau ta?! Ayo, pilih yang mana....”
Bagaimana reaksi orang tuanya? “Diambil kalau mau. Bilang apa sama mbaknya; sama oom/tante?”