Mohon tunggu...
hendra setiawan
hendra setiawan Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar Kehidupan. Penyuka Keindahan (Alam dan Ciptaan).

Merekam keindahan untuk kenangan. Menuliskan harapan buat warisan. Membingkai peristiwa untuk menemukan makna. VERBA VOLANT, SCRIPTA MANENT.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menikmati Ngrowo Culture Festival 2016

11 Desember 2016   10:00 Diperbarui: 11 Desember 2016   10:05 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ngrowo? Nama yang masih asing untuk orang luar kabupaten Tulungagung. Ya, karena Ngrowo atau Bonorowo adalah salah satu nama kuno daerah ini.

Berdasarkan catatan sejarah, wilayah yang sekarang menjadi kabupaten Tulungagung ini, dulunya pernah bernama kadipaten Amancanagara Ngrowo dan kadipaten Kalangbret. Dalam perjanjian Giyanti pada 13 Pebruari 1755M antara pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said, dua kadipaten di selatan sungai Brantas itu masuk wilayah kekuasaan Mataram Yogyakarta. Sampai kemudian pada tanggal 1 April 1901, nama kadipaten Ngrowo berganti nama menjadi Tulungagung.

Sejak tahun 2003, hari jadi Kabupaten Tulungagung berganti menjadi tanggal 18 Nopember. Penetapan ini berdasar hasil penelitian peninggalan sejarah berupa prasasti Lawadan yang terletak di sekitar Desa Wates Kecamatam Campurdarat. Di sana dinyatakan °Sukra Suklapaksa Mangga Siramasa. Artinya, Jumat Pahing, 18 Nopember 1205.

Prasasti Lawadan dikeluarkan atas perintah Raja Daha terakhir, Paduka Sri Maharaja Sri Sarwweswara Triwikrama Watara Nindita Srengga Lancana Digjaya Tungga Dewanama atau lebih dikenal dengan sebutan Sri Kretajaya. Nama lainnya adalah Raja Kertajaya. Pada waktu itu, raja Kertajaya berkenan memberikan penghargaan atas kesetiaan warga Thani Lawadan ketika terjadi serangan musuh dari sebelah timur Daha.

Menurut catatan yang didapat, Ngrowo Culture Festival (NCF) kali pertama berlangsung tanggal 5-7 Desember 2014, bertempat di sekitar area Taman Aloon-Aloon (alun alun) Tulungagung. Masih di tempat saja, tanggal 5-6 Desember 2015 berlangsung sesi II. Gelaran III tahun 2016 kali ini berlangsung pada Jumat-Minggu, 9-11 Desember.

 NCF sendiri adalah semacam acara “Tempo Dulu”. Di dalamnya berlangsung festival budaya daerah dan gelar produk unggulan dari 19 Kecamatan yang ada. NCF diisi dengan beragam kesenian, misalnya reyog kendang yang khas dari daerah ini. Selain itu ada pula musik, tari, musikalisasi puisi, fragmen, dan melukis bersama.

 “Salam budaya. Rahayu....”

 Selamat memperingati HUT ke-811 Kabupaten Tulungagung

Berikut foto-foto hari II

1. Gerbang masuk. Ada lomba selfie terjadul dan terkece. 

koleksi pribadi
koleksi pribadi
2. Bebas pilih dan foto-foto jadul dari booth pameran dan ornamen yang telah disediakan panita. Sayang cuma ini saja yang terlihat menarik, jadi harus rela antre. Pkl. 18.00 lebih sedikit, masih bisa agak lama mencoba sana-sini. Tampilan malam sepertinya lebih hidup ketimbang sore hari, meskipun lebih gampang dengan cahaya alami.

koleksi pribadi
koleksi pribadi
3. Sedikit terlambat, mulanya pengin di seberang sana agar lebih dekat ke penampil acara. Suguhan dari Proliman Dayak Rejotangan. Cuma membawa 35 dari 400 anggota. Keren, detil sekali olah busananya. Rentan untuk dielus-elus penonton.

koleksi pribadi
koleksi pribadi
4. Ahkhirnya malah dapat tempat dekat panggung. Seperti blessing in disguished hehe.... Wah sayang 'perlengkapan perangnya' tersimpan di 'markas', jadi dengan perlengkapan seadanya saja. Tak bisa bereksperimen... :)

koleksi pribadi
koleksi pribadi
5. Katanya ini "musikalisasi puisi", tapi hasilnya berupa fragmen, drama budaya lokal. Ada suguhan musik tradisional, nyanyi, tari, juga sedikit dagelan.

koleksi pribadi
koleksi pribadi
6. Waduh, error ternyata saudara-saudari... Rekaman videonya ternyata gak muncul suara. Sayang... jadi tak bisa menikmati :(

koleksi pribadi
koleksi pribadi
7. Ternyata lakonnya adalah kisah Joko Budheg. Dalam pertapaannya (sebagai prasyarat mendapat cinta) sang kekasih, Rara Kembangsore, Joko Tawang seperti tidak mendengar ketika mendapat sapaan. Budheg (tuli) seperti batu, dan akhirnya demikian yang terjadi.

koleksi pribadi
koleksi pribadi
8. Pentas budaya yang lain: Jaranan Reyog, Reyog Jaranan. Gabungan keduanya. Sayang, lagi-lagi gangguan pada alat. Pemberitahuan full memory, padahal storage-nya masih 60-70%. Gagal maning dapat foto tampilan yang lebih kolosal dari ini. Hadeww...

koleksi pribadi
koleksi pribadi
9. Ini sebagian penontonnya. Lumayan rame, tapi gak keterlaluan juga seperti di tempat lain (kota yang agak besar penduduknya), yang untuk berjalan saja harus nggremet (pelan sekali). Kalau foto yang paling atas tadi, mbak-mbak'e usai perform di atas panggung. Gobyos rek, habis berjoget 4 (empat) lagu rancak berturut. Tapi masih 'segar' untuk dipandang hehe.. Terima kasih ya, mau difoto :). Suwer ini nggak meminta, lha wong jaraknya juga cukup jauh, bukan pakai kamera beneran lagi :-p

koleksi pribadi
koleksi pribadi

Demikian sekilas info. Sudah pkl 21.00 WIB. Waktunya untuk pulang kembali...

-end-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun