Lanjutan...
Sebelumnya... part 1: “Karnaval Agustusan”
Panen Foto
Bagi yang suka foto, karnaval bisa menjadi momen langka untuk berfoto bersama dengan salah satu atau beberapa peserta. Tak jarang, aksi mereka sesekali terhenti hanya karena penonton memintanya untuk berfoto bersama. “Ya, kapan lagi? Toh kalau tak ada acara begini, mereka kan emoh (tak mau) juga difoto atau dimintai foto bersama. Betul, kan?!”
Desain kostum yang menarik
Ya, karnaval bisa menjadi ajang apresiasi. Tak jarang para orang tua (biasanya
sih ibu-ibu) yang meminta,
“Ayo, Dik, foto sama mbak-nya yang cantik itu.” Tapi, bisa juga teman atau kenalan dari para peserta itu sendiri. Senyampang ada kesempatan langka.
Tentu saja, mau tak mau, yang terpilih ikut
meladeni permintaan tersebut. Kalau ada yang mengawal, barulah sesi minta foto
bareng itu tak jadi terlaksana, karena akan dianggap menghambat laju peserta karnaval.
tcc-part-2-4-57c6c4921593736972cf5afc.jpg
Dalam keadaan yang capek karena berjalan jauh (ada yang memakai sepatu hak tinggi), pegal-pegal, rasa haus yang menghinggapi, adalah hal yang manusiawi. Namun ada nilai positif yang bisa diwartakan peserta, setidaknya sikap profesionalitas dalam berkarya. Walaupun skalanya masih dalam bentuk karnaval, meskipun dari segi usia masih muda (usia sekolah menengah), rasa percaya diri dan mental kedisiplinan itu nampak jelas.
Reyog Kendang, tahun kemarin masuk rekor MURI
Mereka akan tetap berusaha untuk bisa tersenyum pada orang lain, meskipun barangkali dongkol juga dalam hati. “Ah, masak
nggak lihat orang lagi capek begini. Mana
finish-nya masih jauh lagi....”
tcc-part-2-6-57c6c50e169773334cadbeb9.jpg
Yang kasihan sebenarnya juga adalah kawan-kawannya yang lain, yang tidak dimintai untuk berfoto
bareng. Bagaimana ya, perasaan mereka ketika melihat dan merasakan, “Ya dia lagi... dia lagi yang difoto.” Maaf
lho ya, cuma opini, belum tentu juga yang sebaliknya.
Nggak sampai hati untuk bertanya :).
tcc-part-2-7-57c6c52f6623bd8b1b63159b.jpg
Ayo coba, perhatikan yang tampil di foto ketika karnaval diadakan. Baik itu di koran, majalah atau situs
online. Mereka yang
fotogenic yang kerap ditampilkan.
Kenapa demikian
, ya, karena indah dipandang. Alasan
simpel saja. Naluriah.
Toh itupun sebenarnya sudah di-
setting sama yang punya
gawe,bukan?! Juru potret/kamera
kan tinggal mengambil gambar sesuai rasa dan logikanya (benar begitu, ya?!)...
tcc-part-2-8-57c6c5733197736247951a0a.jpg
Karnaval, Pestanya RakyatKalau di kota besar, karnaval yang paling umum adalah dalam rangka ulang tahun kota tersebut. Hampir di setiap kota memiliki acara seperti itu, dengan kekhasannya masing-masing. Tetapi karnaval agustusan di daerah, adalah sukacitanya masyarakat tingkat lokal. Sekadar info, ternyata di sini, sampai bulan September pun, masih tetap ada acara yang terkait dengan agustusan.
Sekalian promosi daerah wisata
Mereka bebas berekspresi sesuai dengan konteks daerah masing-masing. Hal itulah yang setidaknya membuat semangat lokalitas begitu kental.
Tradisi dan
budaya yang terus digali dan dikembangkan, dapat menjadi sarana pewarisan nilai-nilai luhur nenek moyang. Agar generasi muda tetap mencintai dan bangga terhadap kulturnya sendiri.
tcc-part-2-10-57c6c60aa4afbdf94e960b18.jpg
Peristiwa karnaval yang saya ikuti kali ini hanyalah salah satu contoh kecil kemeriahannya. Tak bisa dibandingkan kelasnya dengan JFC (
Jember Fashion Carnival) misalnya, yang sudah menginternasional itu (tahun ini bersamaan waktunya dengan TCC). Dan memang bukan tempatnya (serta tidak tepat juga) untuk memperbandingkan.
Tak kalah keren kok. Cantik...
Kebetulan di bulan kemerdekaan ini, saya berada di kabupaten yang terkenal dengan marmernya. Ya, mana lagi kalau bukan
Tulungagung. Kota (kabupaten) di Jawa Timur yang -bersama dengan Surabaya- memenangkan
Adipura Paripurna tahun ini.
Tampilan wajib, ikon kabupaten dan slogan yang diusung.
Sedikit wawasan, Kabupaten Tulungagung berada pada jarak 154 km ke arah barat daya dari kota Surabaya. Menurut data BPS terbaru (2016), luasnya mencapai 1.055,65 km2, dengan jumlah jiwa 1.021.190 jiwa di tahun 2015. Itu berarti tingkat kepadatan penduduk rata-rata 967 jiwa/km2. Dari luasan tersebut, secara administratif terbagi habis atas 19 Kecamatan, 257 Desa, 730 Dusun, 14 Kelurahan, 1.851 RW dan 6.405 RT.
Karnaval yang selalu dinanti
Nah, terkait dengan karnaval kemerdekaan, berbekal cerita lisan dari warga di tempat ini, lalu coba-coba untuk mencari info lanjutan di internet. Ketemulah pada halaman salah satu grup
facebook lokal
.Isinya antara lain memuat informasi berikut ini.
Sumber: https://www.facebook.com/TulungagungCoret
“Wah, kalau jadwalnya lengkap begini, ya menang
milih saja, mau ke mana perginya?” batin saya dalam hati. Maka, kalau jelas seperti ini, yang senang adalah para penyuka fotografi. Bisa
hunting foto sepuasnya. Para jurnalis (media resmi atau para
citizen journalist), siswa/mahasiswa yang terkait dengan jurusannya; mereka juga tidak terlalu kesulitan dalam mencari atau membuat pemberitaan.
Pengenalan budaya lokal sejak dini
Coba, kalau momen seperti ini juga terjadi di kota besar. Betapa semaraknya jua. Tapi, ya memang karena situasi zaman, tak memungkinkannya. Jadi, ya cukuplah bernostalgia... Hanya memang di sedikit tempat yang masih mempertahankan
tradisi karnaval
Agustusan macam begini. “
Bikin ngiri...” Jelas, seperti dalam
capture berikut ini, masih di grup FB yang sama.
Sumber: https://www.facebook.com/TulungagungCoret
Baiklah, daripada tambah panjang dan
nggak jelas
jluntrung (arah atau fokus pembahasan)
-nya, cukup sekian saja ya
oret-oretan ini... :). Nah, mari kita simak terus kemeriahan acara –melalui serial foto–
Tulungagung Culture Festival (TCC) 2016 yang diselenggarakan pada hari minggu terakhir di bulan Agustus ini (28/8).
Oh ya, tepat sehari sebelumnya, sebenarnya ada juga momen karnaval bertajuk
PawaiBhinneka Allegori untuk tingkat SMP/MTs. Sayang tidak sempat untuk menyaksikan momentum tersebut. Jumlah pesertanya tentu lebih banyak dari TCCini, yang diadakan untuk tingkat SMA/SMAK/MA.
Lagi bersiap menuju pemberangkatan
Maklum jumlah sekolah -data BPS Kabupaten Tulungagung 2016- SMPN/swasta (75 SMP, 39 MTs) di sini lebih banyak daripada SMAN/swasta (24 SMA, 31 SMK, 18 MA). Jadi ya wajar sajalah. Tapi meskipun secara kuantitas sedikit, tapi secara kualitas, sungguh, di luar ekspetasi. Keren, walaupun untuk tingkat sekolah saja, bisa menyajikan gelaran semacam ini. Hebat juga, karena sudah menjadi agenda tahunan ternyata...
Fashion on the street. Pameran rancangan desain pakaian dan peragaan busana di jalanan.
Dengan banyaknya kegiatan karnaval
agustusan, kota yang juga terkenal karena TKI/TKW-nya ini, pantas juga untuk bisa disebut sebagai “kota budaya,” menyusul predikat dari Jogjakarta. Tradisi karnaval dalam rangka 17 Agustus ini, patut untuk diapresiasi. Sebab, dengan karnaval ini, melalui generasi muda, lewat jalur pendidikan formal, serta dinamika warga, budaya bangsa akan tetap terpelihara.
Kultur budaya Babad Tulungagung menjadi bagian perayaan (karnaval).
Oh ya, sekadar
sharing (berbagi cerita), foto-foto ini hanya menggunakan (pinjaman) kamera
smartphone (tampilan sudah di-
resize). Bukan dari kamera saku, semipro atau DSLR. Nah, kalau soal
jeprat-menjepret alias fotografi ini, yang lebih berpengalaman saja yang membahasnya. Cuma, kutipan pesan terbaik dari fotografer profesional yang bisa diingat,
“Kamera terbaik adalah kamera yang Anda miliki sekarang”. Maka, sering-seringlah berlatih dengan kepunyaan sendiri. Tidak usah terlalu berharap dulu
pengin kamera yang mahal dan supermahal itu. Kamera hanyalah sekadar alat bantu. Selebihnya, tergantung dari latihan, kejelian dan faktor
lucky (keberuntungan) dalam memotret.
tcc-part-2-21-57c6c90caf92737f60541440.jpg
Demikian laporan pandangan mata kali ini... Salam kemerdekaan, salam budaya... Makin cinta dan bangga Indonesia....
-end-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya