Kupatan (hari raya ketupat) adalah salah satu tradisi masyarakat Jawa dalam merayakan Idul Fitri. Acara ini jatuh sekitar seminggu setelah lebaran dalam kalender nasional.
Filosofi kupat (bhs. Jawa=ketupat) sendiri ada yang memaknainya berasal dari gabungan kata “ngaku lepat” (mengakui kesalahan). Artinya, di antara kita pasti pernah berbuat salah. Melalui kupatan ini, bersama-sama kita mengakui kesalahan kita pada sesama. Saling memberi maaf dan menerima maaf secara bersama-sama.
Memang acara ini bukan barang baru bagi penulis khususnya. Dahulu ada tradisi ater-ater, saling berkirim ketupat di antara tetangga. Masa kini, tinggal di perkotaan tidak memungkinkan untuk melihat dan merasakan secara langsung kemeriahan tradisi ini.
Ya, seumur-umur, memang baru kali ini saya mengikuti perayaan ini secara berbeda. Memang, lokasi ini bukan termasuk daerah (desa) yang mengadakan seremoni besar-besaran, seperti mengadakan pawai/karnaval. Tetapi setidaknya, potret kecil inilah wujud nyata hidup guyub rukun masyarakat kita sebenarnya.
Dengan keapaadaannya, mereka bergotong-royong, bahu-membahu untuk menyajikan yang terbaik momen setahun sekali ini. Ada yang bersama-sama mempersiapkan masakan wajib berupa lontong kupat beserta sayur dan segala yang berkaitan dengan itu. Ada ‘tim’ lain yang mempersiapkan tempat perhelatan acara ini. Menghiasinya sebisa mungkin menarik perhatian. Kalaupun ada panggung hiburan sebagai penyemarak acara, itu bonus.
Menengok ke belakang, adanya paham intoleran yang berkembang di sebagian masyarakat Indonesia tentu tidak boleh dibiarkan begitu saja. Masa hanya sekedar ucapan selamat –memperingati hari besar keagamaan- kepada saudaranya saja dianggap melanggar kaidah; seseorang bisa menjadi murtad? Ini kan nalar yang sempit, rasional yang tak masuk akal?!
Toh, kalau mau begitu, sebenarnya dalam sejarah, semua agama yang masuk ke Indonesia –Hindu, Buddha, Islam, Katolik, Kristen- semuanya adalah pendatang. Analoginya, mereka semuanya nunut numpang di Nusantara. Tuan rumahnya sangat baik hati. Mereka semua disambut dengan gembira.
Dalam perkembangan, kemudian karena sebagian ‘oknum tamu’ itu terus merasa mendapat tempat, dan ia merasa sudah kuat, bisa menang dari pemilik rumah, maka ulahnya semakin menjadi-jadi. Tuan rumah yang sangat baik itu disingkirkan jati dirinya. Mereka dianggap sesat atau kafir, jika tak mau beriman yang sama dengan si tamu. Akhirnya, pemilik rumah pun mengalah. Tidak apa-apa mendapat tempat yang kecil, tidak strategis, dan dijauhkan dari kehidupan bersama di rumah miliknya sendiri.
Namun, yang tidak tidak disadari para tamu, mereka mau tak mau tetap tunduk pada pola perilaku yang sudah ada (terbentuk) dari si pemilik rumah. Tidak apa-apa pemilik rumah mengalah, tetapi para tamu tidak bisa terlepas bebas membentuk aturan hidup sendiri. Jika itu dilakukan, mereka akan hengkang sendirinya dari rumah tumpangan.
Berbagi dalam Kebersamaan
Kira-kira setelah salat magrib, atau sekitar pukul. 18.00 WIB, dari arah Balai Desa, kembang api menyala bersahut-sahutan mengiringi pembukaan acara ini. Dan di tiap dusun pun tak ketinggalan turut serta menambahkan penyalaan kembang api. Jadinya, langit bertaburan warna-warni yang indah.
Selamat merayakan.... Semoga tahun depan bisa berjumpa lagi. Salam damai dan harmoni selalu...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H