Mohon tunggu...
Hendi Wisma
Hendi Wisma Mohon Tunggu... Profesional -

Just ordinary person who love love love his family. Working as Mechanical Designer as passion. Sometimes play guitar, sometimes piano, and another time writing as hobby.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Jalan-jalan ke Baduy Dalam

12 Juni 2015   02:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:05 1476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wisata. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Keingintahuan saya untuk mengenal lebih jauh tentang tempat wisata di Propinsi Banten, terutama Baduy akhirnya mendapatkan cahaya terang. Ajakan kawan-kawan yg tergabung dalam Ikatan Alumni ITB Banten untuk berjalan-jalan mengunjungi daerah Baduy dalam yg masih alami tidak saya sia-siakan.

Perjalanan direncanakan berlangsung 2 hari yaitu Sabtu, 8 November 2008 dan Minggu, 9 November 2008.
Sabtu pagi itu kami berkumpul di depan gedung Pusdiklat Krakatau Steel Cilegon pukul 06:00. Peserta yang ikut berjumlah sekitar 30 orang. Kami datang tepat waktu hingga kemudian sekitar pukul 07:00 acara dibuka dengan sambutan dari Ketua Ikatan Alumni ITB Banten, Bpk Setiawan Surakusumah dan kemudian melepas keberangkatan kami. Kebetulan waktu itu Bapak Ketua berhalangan mengikuti acara ini sehingga hanya sempat sampai melepas kepergian kami saja. Perjalanan dimulai sekitar pukul 07:30 dengan menggunakan bus ukuran sedang menuju ke Baduy luar, tempat dimana bus masih bisa masuk. Sekitar pukul 09:30 kami istirahat sejenak di sebuah warung untuk makan dan minum ringan. Lalu perjalanan dilanjutkan kembali dan sekitar pukul 11:00 kami sampai di Ciboleger, tempat kendaraan bisa masuk paling jauh di Baduy, sekitar pukul 11:00. Di sini juga terdapat kendaraan-kendaraan umum lainnya yang baru datang atau akan berangkat ke Serang.

Wilayah yang kami tuju dinamakan wilayah Kanekes atau Rawayan, tepatnya desa Kanekes, kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten, Indonesia. Daerah ini berjarak sekitar 40 km dari Rangkasbitung. Wilayahnya berbukit-bukit dan pemukiman biasanya berada di wilayah lembah atau bukit pada daerah yg dekat dg mata air atau sungai. Secara geografis letaknya berada pada koordinat 6 derajat 27 menit 2 detik sampai 6 derajat 30 menit 0 detik Lintang Utara dan 108 derajat 3 menit 9 detik sampai 106 derajat 4 menit 55 detik Bujut Timur. Wilayah yang merupakan bagian dari pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300 - 600 meter di atas permukaan laut (DPL) tersebut memiliki topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata mencapai 45 derajat, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan) dg temperatur udara yang sejuk rata-rata 20 derajat Celcius. Wilayah Baduy meliputi Cikeusik, Cibeo dan Cikartawarna.

Sesampainya di wilayah Ciboleger, bus pun mengambil posisi parkir dan kami berjalan-jalan dulu di sekitar Ciboleger yang berbentuk seperti alun-alun dengan sebuah tugu di tengahnya sambil menunggu waktu sholat Dzuhur. Disini juga angkutan umum yang lain berputar kembali ke kota Serang. Ketika adzan dzuhur berkumandang, kami bergegas menuju masjid dan melaksanakan sholat Dzuhur secara berjamaah di masjid yang lokasinya agak masuk ke sebuah gang.

Setelah semua peserta selesai melaksanakan sholat, kami berkumpul di dekat tugu untuk mendengarkan briefing dari panitia. Dengan ijin jalan-jalan dari Kepolisian yg sudah kami kantongi sebelumnya, kami berbincang sejenak dengan kepala dusun Baduy luar dan kami diminta untuk ikut menjaga kelestarian Kampung Baduy.

Sekilas informasi bahwa orang Baduy atau juga disebut orang Kanekes adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda yang berdomisili di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Peneliti dari Belanda menyamakan mereka dengan Badawi atau Bedouin Arab yang merupakan masyarakat yang nomaden atau berpindah-pindah. Sebutan suku Baduy mungkin juga karena mereka tinggal di selatan Gunung Baduy dan adanya sungai Baduy yang melintasi wilayah tersebut. Masyarakat Baduy terbagi menjadi 3 kelompok, yaitu Tangtu, Panamping dan Dangka. Kelompok Tangtu adalah kelompok Baduy Dalam yang paling taat mengikuti adat. Kelompok Tangtu tinggal di 3 kampung yaitu Cibeo, Cikartawana dan Cikeusik. Ciri orang Baduy Dalam adalah mengenakan pakaian berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala yang juga berwarna putih. Kelompok kedua adalah kelompok masyarakat Panamping. Masyarakat Panamping atau biasa disebut masyarakat Baduy Luar tinggal di beberapa kampung yang tersebar mengelilingi Baduy Dalam yaitu kampung Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu dll. Ciri khas orang Baduy luar adalah mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam. Sedangkan kelompok ketiga yaitu kelompok Baduy Dangka tinggal di luar wilayah Kanekes yaitu di kampung Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam).

Setelah acara ramah-tamah selesai, sekitar pukul 13:00 kami memulai perjalanan darat dengan berjalan kaki menempuh jarak 10 km yang diperkirakan bisa dicapai dlm 4 jam dg dipandu beberapa orang dari Baduy dalam, yaitu Kang Jakam, Kang Jakri, Sangsang Kasip, Sangsang Nadi, Kang Sarip dan Kang Jarog yg membawa tas berisi buah tangan.

Jalur keberangkatan ini melewati Cikartoana - Kekeusik - Ujung. Di awal perjalanan kami melewati pekarangan rumah masyarakat Ciboleger dan melihat beberapa orang sedang memintal kain dengan mesin pemintal sederhana di teras-teras belakang rumah warga. Perjalanan layaknya hyking dg medan tanah berbatu dan berlumpur. Untung waktu itu saya mengenakan safety shoes tinggi dengan sol yg mantap sehingga dapat melindungi kaki dengan sangat baik meskipun agak berat. Beratnya sepatu menjadi tidak terasa ketika saya menikmati perjalanan ini. Kami juga melewati jembatan bambu yg eksotis dan tak ketinggalan kamipun menyempatkan berfoto-foto di sana. Jembatan ini terbuat dari bambu dan hanya diikat dengan menggunakan ijuk dan memanfaatkan akar-akar pohon sebagai pondasinya. Mungkin jembatan ini layak dijadikan landmark daerah ini karena bentuknya yang unik. Dalam perjalanan kami juga menemui rumah-rumah kecil yang tidak berpenghuni yang digunakan sebagai tempat penyimpanan kebutuhan sehari-hari warga Baduy yang sering bolak-balik dari dan ke Baduy Dalam dengan berjalan kaki. Perjalanan ini bagi mereka adalah hal yang biasa sehari-hari. Jika perjalanan ini direncanakan memakan waktu 4 jam untuk sampai ke Baduy Dalam, bagi orang Baduy Dalam sendiri dapat ditempuh dalam 3 jam saja tanpa alas kaki. Perjalanan ini sangat melelahkan karena selain tanah berbatu dan berlumpur, medannya juga mendaki bukit dan menuruni lembah.

Tahukah anda, bahwa pada 3 Juli 2007 lalu sempat terjadi kebakaran hebat di kampung Baduy yang membakar 67 rumah, 25 lumbung padi dan hasil ladangnya hanya dalam tempo waktu 2 jam saja yg membuat penduduk Baduy kelaparan. Mungkin karena alasan ini jugalah mereka membangun rumah-rumah kecil yg tersebar untuk persediaan makanan/minuman sewaktu-waktu.

Sambil berjalan saya sempatkan utk bertanya dan mendengar apa saja tentang suku Baduy Dalam ini. Kang Jakri yang mengiringi kami bercerita kadang ada catang atau pohon yg roboh menghalangi jalan. Mereka juga bercocok tanam mentimun yg besar yg mereka sebut sebagai bonteng. Mereka bermata pencaharian sebagian besar dari bertani padi huma. Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari berjualan buah-buah dari hutan seperti durian dan asam keranji. Mereka juga menjual madu hutan, yang kadang saya melihat mereka datang berjualan dengan berjalan kali sampai kota Cilegon.

Kami sempat beristirahat agak lama sekitar setengah jam di sisi sebuah jalan setapak yang diapit kebun jagung/tebu. Sembari beristirahat, seorang sesepuh IA ITB Banten berkelakar, "Pada tahu gak kenapa Zidane menanduk Materazzi waktu piala dunia?", "Kenapa Pak?!?", jawab seorang kawan kami. "Dan, Dan, main ball mu kok koyok PSSI wae". Dan kamipun tertawa terbahak-bahak mendengarnya. Waktu itu piala dunia 2008 belum lama usai sehingga adegan Zidane menanduk Materazzi masih hangat-hangatnya.

Kemudian kamipun melanjutkan perjalanan di etape terakhir. Namun, sekitar pukul 16:30 hujan turun rintik-rintik, dan kami mempercepat langkah kami sambil tetap berhati-hati karena jalan setapak berbatu menjadi licin. Kami sempat berteduh di rumah-rumah tua yg berpenghuni di dekat perbatasan sebelum masuk daerah Baduy Dalam. Kami tidak dapat berlama-lama berteduh karena waktu sholat Ashar juga semakin sempit dan jarak kampung Baduy dalam juga tidak terlalu jauh lagi. Kemudian kami mulai berjalan lagi dan melewati jembatan bambu lagi tanda memasuki wilayah Baduy Dalam. Mulai dari jembatan gerbang masuk ini kami tidak dipekenankan mengambil foto atau gambar di area Baduy Dalam.

Waktu menunjukkan hampir pukul 17:30, dan kamipun langsung menuju sebuah rumah yang berukuran agak besar yang akan menjadi barak penginapan kami malam ini. Kamipun langsung meletakkan tas-tas dan perbekalan kami di pinggir-pinggir dekat dinding bagian dalam rumah tsb. Banyak yg belum menunaikan sholat Ashar waktu itu. Lalu kami buru-buru berwudhu di sungai dan menunaikan sholat Ashar berjamaah. Setelah sholat ashar, kondisi mulai agak santai, dan kamipu merapikan barang di sisi dinding tembok. Ada juga yang mengambil perlengkapan mandi karena mau gosok gigi dan mandi di sungai. Tak lama kemudian kami menunaikan sholat Maghrib berjamaah juga.

Malam itu jarang peserta yang keluar rumah karena sumber cahaya yang minim di luar barak. Perlu diketahui bahwa di kampung Baduy dalam ini tidak dialiri listrik dan masyarakat Baduy Dalam sendiri juga mempertahankan hidup dengan cara yang tradisional seperti ini. Sebagian besar peserta menghabiskan waktu di dalam barak untuk berbincang dengan sesama peserta, atau berbincang dengan org Baduy sambil memilih buah tangan yang ditawarkan oleh orang Baduy Dalam, sambil beristirahat. Oleh-oleh yang ditawarkan ada yg berupa gantungan kunci berbentuk sandal japit yg terbuat dari batok kulit kelapa, pulpen kayu dll. Harganya hanya Rp 5000,-/buah saja dan hampir semuanya dibuat dari bahan-bahan alami yg didapat dari alam sekitarnya.

Setelah sholat Isya dan makan malam, ada juga yg masih mengobrol ngalor-ngidul dengan penduduk Baduy Dalam. Saya ikut nimbrung ngobrol sambil mengajukan beberapa pertanyaan seperti wartawan. Saya bertanya tentang angka yang digunakan sehari-sehari. Kemudian mereka menjelaskan angka secara berurutan Kasa (1), Karo (2), Katiga. Ketiga angka tersebut adalah angka awal atau disebut dg awalu. Kmd dijelaskan lagi angka berikutnya yaitu Sapar (4), Kalima (5), Kaenem (6), Kapitu (7), Kadalapan (8), Kasalapan (9), Kasapuluh (10), Kapitlemah, Kapitkayu dsb. Mereka juga menceritakan bahwa kalau bermain angklung tidak boleh sambil bernyanyi, entah saya tidak menanyakan mengapa. Bahasa yang mereka gunakan mirip dg campuran Bahasa Indonesia, Sunda, Jawa dan Arab. Dialeknya lebih dekat dengan Sunda-Banten dan tidak mengenal budaya tulis-menulis. Meskipun tidak beragama Islam, namun pengaruh Islam masih dapat dirasakan dari kata-kata yang mereka gunakan. Kepercayaan masyarakat Kanekes disebut sbg Sunda Wiwitan yang berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangannya dipengaruhi oleh agama lain seperti Islam, Hindu dan Budha. Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes adalah keturunan dari Batara Cikal, yaitu salah satu dari 7 dewa/batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering dihubungkan dg Nabi Adam sebagai nenek moyang yang pertama. Menurut kepercayaan mereka juga, Adam dan keturunannya termasuk warga Kanekes memiliki tugas utk bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.

Pagi-paginya sekitar pukul 04:00 sudah banyak yang saling membangunkan supaya bisa sholat Subuh berjamaah. Dingiiin sekali pagi waktu itu. Sayapun mulai bangkit melawan dingin. Brrrr, saya berjalan menuju sungai untuk buang air kecil dan berwudhu dg membawa senter. Sambil menerka arah yg ditujukan oleh rekan yg sudah balik dari sungai, saya menerka jalan ke sungai di antara rumah-rumah penduduk yang gelap sambil membawa senter beserta beberapa rekan lainnya. Kemudian kami berwudhu menggunakan air sungai yang dingin dan kembali ke barak untuk menunaikan sholat Subuh berjamaah. Setelah sholat subuh, kami berbincang sejenak untuk kemudian berjalan-jalan menikmati eksotisme Kampung Baduy Dalam di pagi hari.

Pola perkampungan mereka dibangun di tepi sungai atau mata air, tetapi mereka tidak mempunyai kamar mandi atau tempat mencuci khusus di dekat rumahnya. Untuk kebutuhan air seperti untuk memasak dan mencuci mereka harus pergi ke tampian. Mereka membawa air dan memasak dengan menggunakan alat yang disebut somong dan kele. Keduanya terbuat dari bambu yang berbeda ukuran dan desainnya. Somong terbuat dari bambu yang besar dan terdiri dari beberapa ruas/buku.

Gelasnya terbuat dari awi temen/bambu yang sdh kering yg dipotong menyerupai cangkir. Bagian badannya, 3/4 bagian kulit bambu/hinis dihilangkan. Badan cangkir ada yang dibentuk misalnya berupa potongan patah-patah agak bergerigi dan mengecil di bagian bawah sebagai pegangan. Di sekeliling bibir cangkir masih ada kulit bambu agar nyaman di bibir. Bambu yang sudah kering sangat baik untuk dijadikan bahan cangkir.

Salah satu karya lainnya adalah tempat lilin dari cagak kai harendong yang berbentuk siku. Batang yg memanjang tersebut dibelah agar diperoleh penampang yang rata utk dudukan lilin.

Desain sendok sama seperti yang biasa kita gunakan, hanya bahannya terbuat dari tempurung/batok kelapa yang diikatkan pada batang bambu sebagai alat untuk memegangnya. Alat makannya berupa mangkuk dari tempurung. Kini di antara dari mereka ada yg menggunakan bahan dari plastik, terutama untuk menuangkan mie rebus.

Mandi, buang air kecil dan buang air besar dilakukan di sungai, tentu ada lokasi-lokasi tertentu untuk masing-masing kegiatan supaya tidak mengotori kegiatan satu sama lain.

Cara memasak air yaitu dengan alat yang disebut dalang atau seeng di saung huma cukup unik. Saung huma hanya digunakan pada waktu tertentu, misalnya musim panen. Oleh karena itu, beberapa pemilik saung huma membuat hawu sementara menggunakan bahan seadanya dengan cara mengikatkan dua batang bambu secara horizontal dan sejajar pada sebuah tiang. Salah satu ujungnya diikatkan pada batang kayu atau bambu, misalnya pada tiang saung huma, tiang penyangga golodog, batang pohon atau sengaja dibuat tiang khusus. Adapun ujung-ujung yang lain dibiarkan terbuka atau menganga. Lalu bagian leher dari dalung tersebut dimasukkan dari arah depan atau ujung yang menganga hingga tepat di atas perapian digantungkan dengan cara dijepitkan.

Selain hawu yang terdapat di rumah-rumah tinggal, ada juga hawu untuk memasak nira yang diolah menjadi gula aren. Pembuat gula aren memasaknya di tengah kebun agar dekat dengan tempat penyadapan. Saung tempat pembuatan nira dinamakan saung gonggo. Seluruh konstruksi gonggo, mulai dari lingkaran tempat kedudukan ketel, lubang kayu bakar, serta dinding di dalamnya, dibuat dari adukan tanah dicampur abu (lebu) dan air perasan randu. Air perasan randu yang licin berfungsi sebagai perekat kedua bahan tersebut, sebuah teknik hasil penemuan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut pembuat gula tersebut, gawu gonggo bisa menghasilkan api yang lebih stabil. Lubang hawu di dalam tanah dapat menahan angin yang berembus kencang di hutan atau kebun.

Rumah-rumahnya dibuat seperti rumah panggung yang menghadap utara untuk masyarakat biasa supaya tidak mudah dimasuki binatang liar. Hanya rumah Puun yg boleh menghadap selain ke arah utara. Bahan rumah hampir semuanya dari baham alami. Ketika berjalan-jalan saya menemukan halaman yg berlumut, sepertinya jarang diinjak orang, padahal juga masih di situ-situ juga. Kami bertanya dimanakah letak rumah ketua adat, lalu ditunjukkan oleh seorang penduduk lokasi rumah ketua adat atau biasa disebut sebagai Puan Baduy Dalam. Kemudian kami bertamu, berbincang sejenak dan ternyata beliau juga berjualan baju khas suku Baduy. Orang yg pergi ke Baduy pasti ingin membeli oleh-oleh khas daerah yang dikunjunginya tersebut. Apalagi bisa didapat dari kepala adat, pasti lebih membanggakan ketika dibawa pulang nanti. Beliau menjual baju kemeja Baduy warna putih dg beberapa ukurannya dan variasi modelnya. Modelnya seperti baju koko, kainnya agak kasar, dengan kerah mandarin namun tenunan benangnya masih kurang rapi. Tapi saya pikir disitulah letak seninya oleh-oleh dari suku Baduy. Akhirnya kami membeli satu potong baju sebagai buah tangan.

Tahun 2014 yang lalu saya pernah saya mengunjungi pameran pariwisata di Senayan, di stand wisata kampung Baduy dijual oleh-oleh kemeja mirip yg saya lihat dulu waktu ke kampung Baduy dalam. Namun baju Baduynya sudah terjahit rapi - kmd saya tanya dan ternyata itu adalah replika. Modelnya mirip tapi kainnya sudah halus dan pintalan kainnya rapi.

Puan sebagai kepala adat memiliki juru bicara atau biasa disebut Jaro atau Walal dalam tata pemerintahan adatnya (Kapuanan). Jaro juga berfungsi sebagai Lurah di kampung tersebut. Jaro dibagi mjd 4 jabatan. Pertama Jaro Tangtu yang terdiri dari 3 org, bertanggung jawab pada pelaksanaan hukum adat pada warga Tangtu dan berbagai macam urusan yang lain. Yang kedua Jaro Dangka yang bertugas mengurus dan memelihara tanah titipan leluhur yang ada di dalam dan di luar wilayah Kanekes. Jaro Dangka berjumlah 9 orang. 3 org Jaro Tangtu ditambah 9 org Jaro Dangka biasa disebut sbg Jaro Duabelas. Pimpinan Jaro Duabelas ini disebut sbg Jaro Tanggungan yang waktu itu dijabat oleh Bpk. Dodeing. Jaro pamarentah secara adat bertugas sebagai penghubung antara masyarakat adat Kanekes dengan pemerintah nasional Indonesia. Dalam tugasnya tersebut, Jaro dibantu oleh Pangiwa, Carik dan Kokolot Lembur/Tetua Kampung.

Untuk menunjang kesehatan di kampung ini, ada juga bidan atau biasa disebut sebagai peraji.

Meskipun dalam kalangan masyarakat Baduy Dalam terdapat larangan menggunakan lampu penerangan, namun penggunaan lampu penerangan yang disebut damar masih diperbolehkan dengan catatan hanya sampai sebelum tidur atau saat ada tamu. Ketika tidur, damar harus dipadamkan. Damar terbuat dari ruas bambu yang salah satu ruasnya digunakan sebagai wadah untuk minyak dari batu cadas seukuran kepalan tangan anak. Bahan batu bersifat kedap sehingga dapat menampung minyak sayur.

Selain menggunakan damar, boleh menggunakan lilin jika kedatangan tamu dari luar Baduy. Seperti yang telah kita ketahui, Kampung Baduy adalah tempat wisata sekaligus tempat belajar kebudayaan Sunda Buhun. Maka tidak mengherankan banyak pengunjung atau siswa yang bertamu dan bermalam di kampung-kampung tersebut.

Kemudian pukul 08:30 kami kembali ke barak untuk sarapan dan bersiap kembali ke Ciboleger dengan berjalan kaki. Wah, belum hilang capek kemarin sore sudah mau jalan lagi. Tapi jadwalnya memang begitu jadi kami harus mengikutinya.

Perjalanan pulang kali ini melalui rute yang berbeda dengan rute berangkat, yaitu melalui rute Cibeo. Rute jalur tengah ini akan melewati Kaduketuk - Balimbing - Marengo - Cikakal. Sebenarnya ada satu lagi rute pulang yaitu Kaduketuk - Kajeboh - Jembatan - Balimbing - Marengo, namun kali ini kami dipilihkan melewati jalur Cibeo yg telah dijelaskan di atas. Jalannya yang menurun, melewati lebih banyak perkampungan Baduy Luar dan lebih dekat. Di tengah jalan kami mampir di sebuah rumah penduduk untuk beramah tamah dan membeli duren untuk dimakan bersama.

Sekitar pukul 12:00 kami sampai lagi ke Ciboleger, tempat dimana bus akan menjemput kami. Sambil menunggu berpamitan dengan lurah setempat, saya membersihkan celana dan sepatu yang kotor oleh lumpur dan tanah sepanjang perjalanan berangkat dan pulang. Sebelum pulang kami sempatkan untuk makan siang dan sholat Dzuhur berjamaah dengan warga setempat. Lalu kami naik bus dan sampai lagi di Cilegon sekitar pukul 15:30. Perjalanan yg menyenangkan sekaligus melelahkan, namun tetap dikenang sampai sekarang.

Hendi Wisma/12 Juni 2015

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun