Mohon tunggu...
Hendi Setiawan
Hendi Setiawan Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Senior citizen. Pengalaman kerja di bidang transmigrasi, HPH, modal ventura, logistik, sistem manajemen kualitas, TQC, AMS, sistem manajemen lingkungan dan K3, general affair, procurement, security. Beruntung pernah mengunjungi sebagian besar provinsi di Indonesia dan beberapa negara asing. Gemar membaca dan menulis. Menyukai sepakbola dan bulutangkis. Masih menjalin silaturahmi dengan teman2 sekolah masa SD sampai Perguruan Tinggi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menyimak ILC, 'Sing Wis Yo Wis' sampai Kenapa Pembasmian PKI di Jawa Barat Tidak Berdarah-darah?

30 September 2015   13:43 Diperbarui: 30 September 2015   14:38 4949
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Nara Sumber Cukup Berimbang

Pada acara Indonesia Lawyer Club (ILC) edisi Selasa 29 September 2015, topik yang dibahas adalah "tuntutan ex PKI dan keluarga serta simpatisannya agar Negara meminta maaf atas korban jiwa saat pembasmian PKI sekitar 1965-1966, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur".

Nara sumber yang dihadirkan cukup lengkap dan berimbang:

  • Kubu ex PKI dan keluarga serta simpatisan menghadirkan antara lain Ilham Aidit (yang tahun 1965 masih usia 6 tahun, pasti tidak terlibat G30S/PKI), Nursyahbani Katjasungkana, seorang pegiat HAM yang melaporkan Indonesia ke Mahkamah Internasional (ia tidak terima disebut penghianat oleh Mayjen (purn) Kivlan Zein, karena menurut Kivlan persoalan harusnya diselesaikan oleh orang Indoneia saja), Joko Pekik seorang pelukis ternama, mantan LEKRA, yang berbicara sangat arif (yang sudah ya sudah, saling bermaafan saja) dan seorang anggota DPR - Fraksi PDIP, usia sekitar 40 tahun, ex aktivis mahasiswa 1998 yang berambisi meluruskan sejarah Indonesia (ia tampaknya bersimpati pada ex PKI tapi sayangnya kurang komprehensif, belum meneliti ataub tidak tertarik pada kasus-kasus kekejaman PKI tahun 1965 dan sebelumnya sampai 1948 seperti diceritakan Taufik Ismail) dan Bejo Untung yang ternyata bukan anak Letkol Untung pemimpin G30S/PKI.
  • Kubu keluarga korban PKI, diwakili anak-anak para Jenderal yang dibunuh PKI pada dinihari 1 Oktober 1965, diantaranya Amalia Yani (putri alam Letjen Ahmad Yani), seorang putri alm Brigjen DI Panjaitan dan Letjen (pur) Agus Wijoyo (putra alm Brigjen Sutoyo Siswomiharjo)
  • Kubu musuh PKI menghadirkan antara lain Mayjen (purn) Kivlan Zein, Taufik Ismail (angkatan 66 yang dimusuhi LEKRA - onderbow PKI), Seorang Ketua NU, Sekjen Muhammadiyah, Fahmi Idris (aktivis mahasiswa UI 1966), AM Fatwa yang menyebut dirinya ex tahanan politik ekstrim kanan.
  • Kubu yang seharusnya netral diwakili Komnas HAM, yang dituduh hanya memperhatikan korban-korban jiwa di pihak PKI saja, sedangkan laporan dari pihak lawan PKI yang dilaporkan oleh Amidan dan seorang Kolonel tidak diperhatikan (menurut Kivlan Zein). Komnas HAM membantah telah menerima laporan tersebut.
  • Kubu cendekiawan diwakili antara lain : Prof Tjipta Lesmana (ia mengatakan PKI itu jahat, Presiden atas nama Negara disarankan tidak meminta maaf kepada PKI), Prof Salim Said dan Prof JE Sahetapy.

Para pihak terutama yang bertentangan yaitu kelompok ex PKI dan simpatisannya vs Keluarga Korban PKI dan tokoh-tokoh musuh PKI beradu argumen perlu tidaknya Negara meminta maaf kepada ex PKI dan simpatisannya untuk pembunuhan dalam jumlah sangat banyak di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pihak lawan ex PKI menolak Negara harus minta maaf karena peristiwa pembunuhan masal itu merupakan akibat dari tindakan PKI sebelumnya, selain membantai enam Jenderal dan satu perwira pertama TNI AD pada dinihari 1 Oktober 1965, perilaku PKI sebelumnya dan jauh sebelumnya pada 1950-an dan 1940-an setelah kemerdekaan RI dinyatakan sangat kejam, melakukan banyak pembunuhan diantaranya pihak NU yang paling banyak menjadi korban kekejaman PKI. Lagi pula bila Negara minta maaf artinya mengaku bersalah, bisa-bisa ada susulan tuntutan ganti rugi materil, ya nanti dululah.

Profesor Sahetapy dalam kapasitas sebagai pendidik menginginkan suasana tidak memanas menjadi kebencian, ia juga menasihati Komnas HAM agar hati-hati bekerja, bisa saja jika kerjanya dianggap tidak adil oleh salah satu pihak, nantinya Komnas HAM tak dipercaya lagi oleh rakyat Indonesia. Letjen (pur) Agus Wijoyo mengharapkan ada rekonsiliasi, saling memaafkan sambil membuka fakta seluas-luasnya. Ucapan Agus Wijoyo dipuji Profesor Sahetapy, jarang ada seorang militer bicara demikian, kata beliau.

Joko Pekik dan Fahmi Idris mengatakan "sing wis yo wis" (yang sudah ya sudah), jangan dipersoalkan lagi, tak akan bisa rukun kembali bila tetap saling tuding. Hal senada disampaikan juga oleh Ketua NU yang saya lupa namanya, ia malah bersedia memberikan kepada Komnas HAM data dan fakta yang dicatat NU tentang kekejaman PKI di masa lalu terhadap warga NU. Ex PKI juga harus minta maaf, sayang tokoh-tokoh PKI yang punya dosa semuanya sudah meninggal, meninggal biasa, terbunuh atau dihukum mati.

Fahmi Idris memberi ilustrasi menarik tentang "permusuhan" orang Jawa Tmur dengan orang Jawa Barat, gara-gara peristiwa perang Bubat ratusan tahun silam pada zaman Majapahit - Pajajaran. Toh sekarang mereka sudah berdamai, perkawinan antara orang Jawa (Timur) dan orang Sunda sudah tidak tabu lagi, melupakan masa lalu yang kelam, walaupun "dalang" peristiwa perang Bubat yang menewaskan putri Sunda, Dyah Pitaloka dan Raja Pajajaran, Sri Baduga, tidak dimaafkan oleh orang Sunda dengan menolak memberi nama jalan Gajah Mada dan jalan Hayam Wuruk di kota-kota Jawa Barat. Ex PKI dan simpatisannya dengan musuh-musuh PKI di masa lalupun seharusnya bisa berdamai saling memaafkan, menatap masa depan lebih optimis, tapi masing-masing boleh tetap mencatat "kesalahan" masing-masing pihak. Misalnya tujuh pahlawan revolusi yang dibunuh PKI adalah fakta yang sulit dibantah, walaupun ada pihak-pihak yang mulai melempar isu mengaburkan fakta.

Kenapa di Jawa Barat PKI tahun 1965-1966 Tidak Banyak Korban?

Tadinya saya ingin menulis 'kenapa tidak dibantai'?. Profesor Salim Said menghimbau para peneliti untuk meneliti kasus pembasmian PKI di Jawa Barat yang minim korban di pihak PKI. Padahal terhitung sejak 1948 - 1965 bukan tak ada kekejaman PKI terhadap warga Jawa Barat, terutama alim ulama.

Professor Salim Said berpendapat, ketika G30S/PKI (ia menyebutnya Gestapu) meletus dan gerakan dalam waktu beberapa hari dipatahkan TNI yang dipimpin pak Harto, sebelum muncul euphoria massa menuntut pembubaran PKI di mana-mana, Gubernur Jawa Barat Letjen (pur) Mashudi dan Pangdam Siliwangi Mayjen Ibrahim Adjie bertindak cepat. Kedua pemimpin Jawa Barat itu menginstruksikan kepada pengurus PKI dan organisasi onderbow-nya untuk membubarkan diri. Para tokoh PKI dan onderbow-nya kemudian diamankan atau ditahan oleh tentara Siliwangi.

Dari sebuah sumber, yaitu Sosio Politica mencatat kejadian di Jawa Barat sebagai berikut: "Di tengah gelombang pembasmian PKI, khususnya di pulau Jawa, fenomena yang paling menarik mungkin adalah yang terjadi di Jawa Barat. Ketika praktis seluruh pulau Jawa ada dalam arus pembasmian massal yang berdarah, Jawa Barat menunjukkan kelainan. Gerakan pembasmian PKI umumnya hanya terjadi di kota-kota, terutama di kota Bandung, dan relatif tidak berdarah karena lebih ditujukan pada pengambilalihan kantor-kantor milik PKI dan organisasi-organisasi sayapnya. Lagipula penyerbuan-penyerbuan ke kantor-kantor PKI itu dilakukan oleh massa mahasiswa dan pelajar yang tidak punya niat dan kemampuan melakukan kekerasan berdarah. Pola pengambilan dan pembunuhan atas pengikut-pengikut PKI terjadi secara sporadis saja di daerah tertentu, khususnya di wilayah pantai utara, dilakukan oleh organisasi-organisasi massa". (Socio Politica).

Pernyataan Profesor Salim Said saya bandingkan dengan pengalaman pribadi saya yang ketika itu murid kelas 5 sekolah dasar di Bogor. Saya yakin tak ada pembantaian PKI di kota Bogor, suasana kota aman-aman saja, tak ada demo massa berlebihan. Hanya saya ingat sebuah kantor PKI di Jalan Pejagalan (sekarang Jalan Pemuda) sempat didemo oleh sekelompok kecil pemuda-pemuda Anshor Kebon Pedes, kantor yang sudah kosong itu tidak dibakar hanya dilempari batu saja.

Data di memori saya juga masih mengingat seorang ibu yang sangat saya kenal karena tinggalnya satu jalan dengan keluarga saya, muncul gambarnya di TVRI atau di koran lokal Warta Bogor, Ibu "S" saya sebut saja demikian, diberitakan sedang menyatakan pembubaran diri Gerwani Bogor. Ternyata beliau Ketua Gerwani Bogor. 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun