Apa motif anda membeli polis asuransi? Asuransi jenis pertanggungan apa yang anda beli? Mengapa kebanyakan orang (dulu) menolak membeli polis asuransi? Pahitnya berasuransi! Pertanyaan dan pernyataan inilah yang akan saya bagi sebagai pengalaman bagi pembaca di Kompasiana.
Ketika lulus sekolah dan mulai bekerja pada tahun 1978, tak pernah terbersit dalam pikiran untuk melindungi diri dengan polis asuransi, karena masih muda, masih bisa ikut tim PSSI under 23 he he he dan paling pokok memang tak mengerti manfaat asuransi.
Terkadang ketika bepergian naik pesawat terbang, pernah juga membeli polis asuransi yang dijual untuk 'sekali jalan', saya lupa perusahaan asuransi mana yang menjual polis asuransi di bandara Kemayoran dan lalu di Sukarno Hatta pada akhir 1970-an/awal 1980an. Motifnya saat itu bila terjadi kecelakaan fatal, saya masih meninggalkan manfaat asuransi yang cukup besar untuk kedua orangtua saya yang saat itu sudah masuk usia hampir senior citizen.
Asuransi Perlu!
Pertanyaan pertama mengapa (dulu) banyak orang menolak membeli polis asuransi? Informasi banyak orang tak mau melindungi dirinya dengan asuransi, saya dengar dari salesman asuransi sendiri. Motifnya macam-macam : merasa masih sehat, takut uangnya hilang, pertimbangan kemungkinan kecil meninggal usia muda, menabung saja, biaya kesehatan sudah ditanggung kantor, dan paling fatal memang tak pernah tahu manfaat asuransi itu untuk apa serta visi kurang jauh ke depan.
Mengapa asuransi perlu, misalnya ketika kita dirawat di rumah sakit dan memerlukan biaya besar, akan terasa beratnya biaya rumah sakit seandainya tak dilindungi asuransi kesehatan.
Asuransi Yang Saya Ikuti
Saya sendiri waktu muda dulu awalnya sering menolak membeli polis asuransi karena merasa kemungkinan terjadinya hal fatal seperti meninggal dunia relatif kecil terjadi saat usia muda, ditambah lagi setelah bekerja di sebuah perusahaan swasta nasional sejak 1981, jaminan kesehatannya sangat bagus, karyawan juga diikutsertakan mengikuti tabungan pensiun grup perusahaan dan Jamsostek.
Jadi sebenarnya saya sebagai karyawan dan kepala keluarga muda saat itu relatif cukup terlindungi dengan 'asuransi melekat' yang memang diwajibkan bagi seluruh karyawan tanpa kecuali. Akan tetapi apakah saya punya keinginan investasi asuransi tambahan? Lama kelamaan mau juga namun dengan kondisi 'minimal', misalnya mengambil nilai tanggungan yang relatif kecil, diantaranya saya membuka polis asuransi pendidikan untuk anak sulung saya, yang manfaatnya diperoleh ketika ia lulus SD, SMP dan SMA. Pernah juga sekitar lima tahun sebelum pensiun membuka polis asuransi untuk anak bungsu saya yang ketika itu masih usia SD, jumlah pertanggungannya ketika itu lumayan besar, saya bayar preminya selama lima tahun, tapi sekarang relatif kecil karena termakan inflasi.
Asuransi jiwa pertama kali di luar fasilitas kantor yang saya ikuti adalah ketika tahun 1990 membuka polis asuransi jiwa senilai Rp 10 juta, dengan batas waktu saat usia 55 tahun bila masih hidup uang akan dikembalikan utuh, sedangkan bila meninggal dunia sebelum usia 55 tahun, maka ahli waris akan mendapat santunan sebesar Rp 10 juta ditambah uang sejumlah Rp 10 juta saat masa kontrak asuransi selesai.
Semua asuransi yang saya ceritakan berakhir manis. Ketika pensiun uang santunan Rp 10 juta dari asuransi yang saya buka tahun 1990 saya terima, Jamsostek/tunjangan hari tua juga saya terima sekitar Rp 100 juta, ditambah tabungan pensiun yang mirip perlindungan asuransi saya terima dalam jumlah yang jauh lebih besar dari tunjangan hari tua Jamsostek. Sekarang masih tersisa satu jaminan asuransi untuk anak bungsu saya, yang akan diberikan manfaatnya ketika ia berusia 22 tahun atau bila saya wafat sebelumnya, ditambah asuransi BPJS Kesehatan dan satu polis asuransi kesehatan dari perusahaan asuransi bonafid, yang berlaku sampai usia 65 tahun.