Suatu pengambilan keputusan, walaupun telah berlandaskan pada suatu prinsip atau nilai-nilai tertentu, tetap akan memiliki konsekuensi yang mengikutinya. Pada akhirnya kita perlu mengingat kembali hendaknya setiap keputusan yang kita ambil didasarkan pada rasa penuh tanggung jawab, nilai-nilai kebajikan universal, serta berpihak pada murid.
- Bagaimana materi pengambilan keputusan berkaitan dengan kegiatan 'coaching' (bimbingan) yang diberikan pendamping atau fasilitator dalam perjalanan proses pembelajaran kita, terutama dalam pengujian pengambilan keputusan yang telah kita ambil? Apakah pengambilan keputusan tersebut telah efektif, masihkah ada pertanyaan-pertanyaan dalam diri kita atas pengambilan keputusan tersebut? Hal- hal ini tentunya bisa dibantu oleh sesi 'coaching' yang telah dibahas pada sebelumnya.
 Coaching didefinisikan sebagai sebuah proses kolaborasi yang berfokus pada solusi, berorientasi pada hasil dan sistematis, dimana coach memfasilitasi peningkatan atas performa kerja, pengalaman hidup, pembelajaran diri, dan pertumbuhan pribadi dari coachee (Grant, 1999).Â
Senada dengan ungkapan di atas, International Coach Federation mendefinisikan coaching sebagai"...bentuk kemitraan bersama klien (coachee) untuk memaksimalkan potensi pribadi dan profesional yang dimilikinya melalui proses yang menstimulasi dan mengeksplorasi pemikiran dan proses kreatif."
Jika kita tinjau dari segi teori, sangat jelas proses coaching ini adalah sebuah proses yang memberdayakan, kolaboratif dan berfokus pada solusi yang dijalankan secara sistematis dan kreatif berwadahkan kemitraan. Sama halnya jika kita ingin mengambil suatu keputusan terhadap suatu kasus. Apalagi kasus tersebut melibatkan rekan sejawat guru.Â
Maka proses coaching adalah proses yang tepat untuk dilaksanakan dalam rangka membimbing rekan kita tersebut dan sama-sama menemukan rangkaian kegiatan yang bertanggung jawab dalam penuntasan kasus yang terjadi. Alur percakapan TIRTA serta mendengarkan dengan RASA akan memberikan suasana positif bagi pelaku kasus dan menggiring pada solusi terbaik.
Kemudian, berkaitan dengan paradigma berpikir coaching di antaranya adalah bersikap terbuka dan memiliki kesadaran diri penuh / kehadiran penuh. Dalam penuntasan kasus di sekolah, sebagai pemimpin sudah seharusnya kita bersikap terbuka, luwes dan siap secara emosional berperan aktif berpartisipasi dalam menuntaskan kasus tersebut. Pemimpin juga harus siap berkolaborasi dan mampu memanajemen emosi karena dirinya harus tampil fulltime untuk fokus pada kasus dan memberikan solusi-solusi terbaik dengan berbagai pertimbangan kreatif.
- Bagaimana kemampuan guru dalam mengelola dan menyadari aspek sosial emosionalnya akan berpengaruh terhadap pengambilan suatu keputusan khususnya masalah dilema etika?
 Dalam sebuah penelitian sosial emosional ditemukan fakta bahwa guru yang memiliki kompetensi sosial dan emosional yang baik lebih efektif dan cenderung lebih resilien/tangguh dan merasa nyaman di kelas karena mereka dapat bekerja lebih baik dengan murid. Kestabilan sosial-emosional yang dimiliki seorang Guru berpengaruh positif pada kemampuannya dalam mengelola kelas dan memanajemen kelas.Â
Hubungan baik antara Guru dan murid ini akan mampu mewujudkan lingkungan belajar yang suportif yang penuh dengan pembelajaran-pembelajaran bermakna. Mampu meningkatkan sikap-sikap positif, sopan santun, rasa saling menghargai bukan hanya pada orang yang ada di sekolah tetapi juga kepada orang yang berada di luar sekolah. Akhir dari stabilnya social-emosional nanti akan membimbing murid untuk mencapai kesejahteraan psikologisnya / well-being.
Adanya penguasaan terhadap pengelolaan aspek social-emosional pada seorang guru juga akan berakibat pada meningkatnya 5 kompetensi sosial emosional. Di antara 5 kompetensi social emosional itu adalah Pengambilan Keputusan yang Bertanggung Jawab.Â
Kompetensi ini adalah kemampuan untuk mengambil pilihan-pilihan membangun yang berdasar atas kepedulian, kapasitas dalam mempertimbangkan standar-standar etis dan rasa aman, dan untuk mengevaluasi manfaat dan konsekuensi dari bermacam-macam tindakan dan perilaku untuk kesejahteraan psikologis (well-being) diri sendiri, masyarakat, dan kelompok.Â
Dengan demikian, seorang guru akan memiliki banyak pilihan-pilihan yang lebih kreatif dalam melahirkan sebuah keputusan terhadap sebuah kasus tanpa mengabaikan standar-standar etis yang ada. Keputusan terhadap kasus akan lebih berorientasi pada kepedulian dan berpihak pada kesejahteraan psikologis murid.