Tepat jam 06:59 seorang anak lelaki berdiri di depan bangunan tua berwarna hijau panton kusam. Bangunan 2 lantai yang sebagian temboknya tertutup Mandevilla secara sengaja oleh si pemilik.
"Nama?" Wanita paruh baya berbadan gemuk bertanya.
"Saga."
"Keperluan?" Kembali petugas administrasi ber-name tag Aleda Olis bertanya.
"Menjenguk teman." Saga menjawab dengan ekspresi bingung. Pastilah ia datang dengan maksud menjenguk. Mana mungkin memesan soto kuning di klinik.
"Pepe?" miss Aleda Olis memastikan.
"Benar."
"Bilik nomor 3. Ada temanmu yang lain yang menjenguknya juga." Lanjut miss Aleda Olis.
Saga pikir ia menjadi tamu yang pertama yang berkunjung ke tempat ini. Menjadi yang pertama berarti berkesempatan menghirup udara fresh ruangan lebih awal dan yang penting memiliki porsi kecil untuk terpapar bau menyengat dari obat-obatan klinik.
"Pagi, Saga" Pepe menyapa.
Rheen sudah berada di ruangan yang sama. Tangannya sibuk membuka ompreng berisi sarapan.
"Aku diminta ibu Kamila untuk menggantikannya pagi ini." Setengah hati Rheen berkata meski Saga tidak mengajukan pertanyaan apapun terkait posisinya saat ini.
Bisa dipahami memang. Ibu dari Pepe pasti super sibuk, mengingat Pepe masih memiliki adik yang masih sekolah.
"Kunjungan dokter!" Seorang perawat setengah berteriak memberitahukan setiap pasien dan pengunjung ihwal kedatangan dokter. Pasien di bilik ke-2 langsung terperanjat terjaga dari tidurnya.
Dokter kawakan klinik Cheduge bernama Kapitan tampak begitu mengesankan. Setelan jas dokter berwarna putih yang ia kenakan sangat pas di badannya.
"Ada Saga rupanya. Apa kau sudah sembuh, Nak?" Dokter Kapitan menyapa dengan senyuman sempurna.
"Lebih oke." Singkat saja Saga menjawab.
"Jika bukan karena Katia yang marah-marah memaksa untuk rawat jalan. Aku menyarankan kau menginap juga di sini." Dokter Kapitan berkata sembari tangannya dengan cekatan men-check kondisi denyut nadi dan tensi Pepe.
"Kau Sudah membaik, Pepe. Besok kau boleh pulang. Dengan catatan, kau menggunakan kursi roda untuk beberapa hari dan jangan lepas mitela di tangannmu." Dokter Kapitan memberi kabar yang menyenangkan untuk Pepe.
"Terima kasih, dokter" Rheen berkata dengan nada girang.
"Sensor pendeteksi panas menemukan angka yang tidak biasa di bahu kirimu, Saga" Dokter Kapitan geleng-geleng kepala tanda tidak paham sambil berlalu menuju pasien selanjutnya.
"Sudah tidak lagi, Dokter. Terima kasih." Buru-buru Saga menjawab.
Satu persatu pasien diperiksa oleh dokter Kapitan. Hingga bilik ke-7, dokter masuk ruangan khusus miliknya.
"Ada apa dengan bahu kirimu, Saga?" Rheen jelas sangat khawatir.
"Tidak ada masalah. Mungkin karena efek single rock attack dengan tambahan api meninggalkan sedikit luka bakar."
"Yang aku tahu. Punggungmu yang terkena serangan itu." Pepe ikut bertanya dengan sedikit heran.
"Nyerempet ke bahu." Saga mengelak dengan guyon.
Panas di bahu ini masih terasa. Namun tidak sepanas hari kemarin. Saga tak ingin semua orang menjadi khawatir.
"Saga. Maafkan aku karena menyeretmu ke dalam pertarungan." Pepe tampak muram menyebutkan barisan kalimat ini. Pepe mudah sekali berubah menjadi melankolis ketika ia merasa bersalah.
Rheen menyuapkan nasi dengan lauk tempe bacem ke mulut Pepe. Mudah-mudahan nasi yang dimakan tidak disertai dengan ingus Pepe yang terbawa suasana.
"Sudahlah. Keributannya sudah selesai." Saga berusaha menenangkan.
"Dan masing-masing dari kita terkena skorsing." Rheen finishing dengan harapan membuat Pepe tertawa.
Miss Aleda Olis secara tiba-tiba berada di bilik Pepe. Mengingatkan mereka bertiga untuk tidak terlalu gaduh.
"Aku tidak suka dengan jumawa-nya Riota. Ia terlalu sering membuat keributan tidak perlu. Dari dulu aku ingin sekali memberi ia pelajaran." Lanjut Saga setelah memastikan miss Aleda Olis memapah pasien bilik nomor 4 yang menurut dokter Kapitan sudah layak pulang.
"Sepertinya Riota terpancing ketika defensive border-mu berhasil menahan serangannya. Buktinya ia langsung mengeluarkan double rock attack." Rheen ikut bagian bercuap
"Kau menghancurkan pestanya, Saga" Kini giliran Pepe yang menambahkan.
"Itu keuntungannya bagi kita. Dengan cara ia mengeluarkan double rock attack. Persediaan serangan Riota cepat habis." Saga menerangkan hasil analisis-nya.
Double rock attack, 2 tali batu yang dilempar di kiri dan kanan pemilik serangan. Menghantam musuh dengan sebelumnya berputar membentuk 2 bulan sabit.
"Jadi kau sengaja mengulur waktu hingga habis serangan Riota?" Pepe bertanya.
"Ya betul. Aku harus mengeluarkan 2 buah edge rubic milikku untuk menangkis serangan double. Serangan Riota sungguh kuat. Meski aku akui 3 serangan terakhir, aku tidak memperhitungkannya."
"Maaf Saga. Aku pikir ia hanya memiliki 5 kantung saku di celananya." Rheen yang kali ini meminta maaf.
"Sudahlah. Keributannya sudah selesai, Rheen" Saga mengulang kembali kalimat yang pernah ia sebutkan sebelumnya.
"Kenapa tidak cepat habisi saja Riota di awal waktu. Mungkin dengan itu aku tak perlu menginap di sini." Curhat Pepe.
"Bukan begitu, Pepe. Aku sudah memberi kode kepada Rheen untuk menarik mundur dirimu dari pertarungan. Kemampuan menghilang Rheen cukup untuk bisa membawamu keluar arena. Hanya saja..."
"Ketika aku hendak membuatmu menghilang. Kau bangun tegap layaknya petarung. Itu kali pertama kau terlihat bersemangat seperti lelaki Cheduge, Pepe" Rheen cepat melanjutkan.
 "Sebenarnya kau memaksakan diri, Pepe. Tapi di satu sisi aku ingin memberitahukan kepada para siswa yang saat itu menyaksikan pertarungan bahwa kawanku punya kemampuan duel yang oke selain tentunya kemampuan makan yang luar biasa." Saga berusaha membuat Pepe lebih percaya diri.
"Itu adalah pembuktian diri terbaik yang pernah aku lihat." Kembali Saga memberi nilai plus kepada Pepe.
"Aku terpancing untuk membuktikan diri saat Riota menyebutku gendut." Jawab Pepe. Mulutnya baru bisa bicara setelah suapan nasi tertelan sempurna ditenggorakkannya.
"Aku harus bilang juga. Pertarungan Choco dan Fiver tidak kalah seru. Choco hampir saja dimakan Fiver" Rheen terus menggali lebih banyak konten bahasan cerita dibanding bahanyanya meneruskan masalah gendut tidaknya Pepe.
Nama AL yang disebut terakhir adalah milik Riota. Elang jawa berwarna coklat hitam dengan kemampuan terbang dan kecepatan yang mengagumkan.
"Ekor Choco sedikit terkena paruh Fiver sebetulnya." Pepe tersenyum geli.
"Oh ya, Saga. Dari mana kau tahu kalau Riota bukan master AL terpilih?" Pepe penasaran perihal hal ini, karena diawal pertarungan ia ketakutan karena mengetahui - bahkan seluruh siswa dikelas pun tahu - Â bahwa Riota adalah master AL terpilih.
"Ensi bercerita padaku tentang permintaan Riota merajah punggung tangannya dengan simbol master Al terdahulu." Saga memberitahukan kedua temannya dengan nada dipelankan.
"Tukang Rajah gila disamping pemakaman? Riota tolol." Rheen hampir saja tertawa cekikik sebelum Pepe complain ia butuh suapan nasi terakhir.
Saga hanya tertawa kecil melihat kelakuan 2 teman karibnya ini.
"Waktu kunjungan selesai! Mohon pengertian para pengunjung untuk memberi waktu bagi pasien untuk beristirahat." Seorang perawat nyaris berteriak memberitahukan info ini dari meja administrasi.
"Rheen. Tidak bisakah dirimu dan Saga gunakan kembali kekuatanmu disini?" Pepe memohon.
"Tidak kawan." Saga dan Rheen menjawab hampir bersamaan. Mereka berdua berjalan berdesakan dengan para pengunjung lain keluar ruang inap pasien.
Tanpa sepengetahuan mereka bertiga. Pasien 2 nomor setelah Pepe memindahkan dirinya secara mandiri ke bilik nomor 4. Mencuri dengar dari awal pembicaraan.
"Saga brengsek!" Riota mengumpat kesal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H