Dalam setiap moment debat dan kampanye para kandidat kepala daerah sering kali hanya fokus pada agenda yang memiliki dampak ekonomi langsung dan cepat, seperti pengembangan infrastruktur atau peningkatan investasi, yang bisa lebih mudah dinilai dan diukur oleh pemilih.
Hal ini dipengaruhi oleh asumsi bahwa masyarakat akan lebih merespon program yang terlihat memberikan hasil ekonomi langsung, seperti penciptaan lapangan kerja atau peningkatan pendapatan. Isu lingkungan dianggap sebagai masalah jangka panjang, yang hasilnya mungkin tidak akan dirasakan secara instan dan tidak memberikan “nilai jual” yang tinggi dalam kontestasi politik.
Dalam perspektif marketing politik, moment Pilkada dengan atmosfer politik yang kompetitif, para kandidat sering kali mengutamakan isu-isu yang lebih populer atau mudah dimengerti oleh masyarakat luas, sehingga dianggap dapat memenangkan simpati pemilih dengan lebih cepat. Isu lingkungan mungkin belum populer di NTT, sehingga banyak kandidat lebih memilih fokus pada janji-janji pembangunan infrastruktur, subsidi, atau bantuan ekonomi langsung, yang dianggap memiliki daya tarik pemilih lebih kuat dalam waktu singkat.
Banyak kandidat Gubernur dan Bupati melihat bahwa agenda lingkungan seperti pelestarian hutan atau penanggulangan kebakaran hutan akan memerlukan alokasi anggaran yang cukup besar. Dalam konteks politik anggaran, isu lingkungan sering kali dianggap hanya membawa “biaya” tambahan daripada “investasi” yang menguntungkan.
Pandangan ini kemudian membuat para kandidat enggan memasukkan program lingkungan karena dianggap tidak langsung menguntungkan daerah, padahal dalam jangka panjang, pelestarian lingkungan dapat menjaga keberlanjutan ekonomi, terutama yang berbasis agrikultur dan pariwisata.
Hal lain yang cukup berpengaruh adalah, baik di tingkat nasional maupun lokal, masih kurangnya regulasi atau kebijakan yang menekan daerah untuk menanggulangi kebakaran hutan atau melakukan pelestarian lingkungan secara ketat.
Minimnya tekanan regulasi membuat calon pemimpin tidak merasa adanya kewajiban besar untuk memasukkan agenda lingkungan sebagai prioritas. Bahwasannya dengan regulasi yang kuat atau tekanan politik dari lembaga nasional bisa menjadi pemicu perubahan prioritas bagi para kandidat, namun hal ini masih kurang terlihat.
Selain sejumlah faktor di atas, kurangnya kesadaran publik terhadap isu lingkungan. Tingkat kesadaran publik terhadap isu lingkungan di beberapa wilayah di Indonesia, termasuk NTT, sering kali masih rendah. Rendahnya kesadaran publik menyebabkan isu lingkungan kurang mendapat perhatian dalam perbincangan publik dan tidak menjadi tuntutan utama masyarakat kepada calon pemimpin mereka.
Rendahnya tuntutan masyarakat terhadap isu lingkungan membuat para kandidat merasa bahwa memasukkan gagasan lingkungan ke dalam visi-misi mereka bukanlah hal yang mendesak untuk memenangkan kontestasi politik.
Dengan demikian, para kandidat dalam Pilkada 2024, khususnya di Nusa Tenggara Timur (NTT) perlu memperhatikan isu kebakaran hutan dan lingkungan dengan cara yang lebih proaktif dan terencana.
Mengintegrasikan isu lingkungan dalam visi dan misi merupakan imperatif mutlak, menjadikannya sebagai salah satu prioritas dalam program pembangunan daerah. Program-program harus kongkrit dan menjawab permasalahan secara langsung sesuai dengan konteks masalah kebakaran hutan yang terjadi.