Mohon tunggu...
Hen Ajo Leda
Hen Ajo Leda Mohon Tunggu... Buruh - pengajar dan pegiat literasi, sekaligus seorang buruh tani separuh hati

menulis dan bercerita tentang segala hal, yang ringan-ringan saja

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Tagar #Desperate, Protes Sosial Gen Z terhadap Keterbatasan Peluang Kerja

9 Oktober 2024   17:10 Diperbarui: 11 Oktober 2024   13:57 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Halaman profil LinkedIn Myers yang menampilkan tagar #Desperate buatannya(LinkedIn/courtneysummer)/Kompas.com

LinkedIn, platform yang awalnya diciptakan sebagai tempat jejaring profesional, telah berkembang menjadi lebih dari sekadar media untuk berbagi pencapaian karier. 

Di dalamnya kini bermunculan berbagai curahan hati, keputusasaan, dan protes terselubung, seperti yang terlihat melalui tren tagar "desperate." Tagar ini digunakan oleh pengguna, terutama generasi Z, yang secara terbuka mengekspresikan kekecewaan mereka terhadap realitas pasar kerja yang keras.

Bermula dari Courtney Summer Myers (28), seorang desainer grafis dan illustrator, memulai tagar #desperate sebagai respons atas kekecewaannya setelah diberhentikan dari pekerjaannya dan gagal mendapatkan pekerjaan baru, meskipun telah melamar sekitar 600 pekerjaan selama 10 bulan. 

Courtney, dalam keputusasaan, menciptakan bingkai foto dengan tagar #desperate, menggunakan warna merah muda sebagai simbol yang berbeda dari warna hijau yang umumnya diasosiasikan dengan status "tersedia untuk bekerja" di LinkedIn.

Unggahan Courtney yang mengekspresikan kegelisahannya segera mendapatkan perhatian luas di platform tersebut, mencapai 426 ribu likes dan 9,5 ribu komentar, dengan banyak orang memberikan dukungan maupun kritik. Courtney bahkan membagikan template banner #desperate agar mereka yang senasib seperjuangan dapat menggunakannya di profil LinkedIn mereka.

Tagar #Desperate kemudian segera meluas dan diadopsi oleh profesional muda di berbagai negara. Salah satu di antaranya adalah Hanna McFadyen (22), seorang desainer kreatif asal Skotlandia, yang mengaku telah melamar 20 pekerjaan setiap hari sejak ia meninggalkan pekerjaannya pada April 2024. Hanna merasa bahwa penggunaan banner #desperate adalah cara baginya untuk mengekspresikan rasa frustrasinya terhadap pasar kerja yang penuh tantangan.

Selain itu, Elena Carballo (29), seorang spesialis desain UX dari Barcelona, juga ikut menggunakan banner #desperate di profil LinkedIn-nya. Elena mengalami nasib yang mirip dengan Courtney setelah ia kehilangan pekerjaannya pada tahun 2023. 

Melalui pengakuan mereka di media sosial, Hanna dan Elena menunjukkan bagaimana tagar #desperate merepresentasikan realitas global yang dialami generasi muda di berbagai negara.

Kesamaan dengan Kondisi di Indonesia

Cerita Courtney, Hanna, dan Elena seakan mencerminkan apa yang dirasakan oleh generasi Z di Indonesia. Di tengah pertumbuhan ekonomi yang tidak merata dan peningkatan kompetisi di pasar kerja, banyak generasi muda di Indonesia menghadapi tantangan yang serupa. 

Sebagaimana liputan media Kompas beberapa bulan belakangan, bahwa tingginya angka pengangguran di kalangan lulusan perguruan tinggi dan keterbatasan kesempatan kerja menciptakan rasa frustrasi yang mendalam. Banyak dari mereka yang terjebak dalam pekerjaan kontrak yang tidak stabil atau harus beralih ke sektor informal untuk bertahan hidup (Kompas.id, 2024).

Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran di kalangan usia muda, terutama mereka yang berusia 15-24 tahun, terus mengalami peningkatan. 

Selain itu, adanya mis match antara keterampilan yang diajarkan di perguruan tinggi dengan kebutuhan industri semakin memperparah situasi ini (Kompas.id, 2024). 

Seperti yang dialami Courtney dan Hanna di Inggris dan Skotlandia, generasi Z di Indonesia juga merasa putus asa dalam mencari pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi dan aspirasi mereka.

Protes Sosial Terselubung: #Desperate sebagai Bentuk Perlawanan

Di balik tren tagar #desperate ini terdapat pesan protes sosial yang lebih dalam. Penggunaan tagar ini bukan hanya tentang individu yang mengungkapkan rasa frustrasinya, tetapi merupakan bentuk perlawanan terhadap sistem pasar kerja yang dinilai tidak adil. 

Banyak generasi Z yang merasa bahwa sistem tersebut telah gagal memberikan kesempatan yang setara bagi mereka. Di tengah semakin ketatnya persaingan dan kebutuhan keterampilan yang semakin kompleks, mereka merasa terpinggirkan.

Gerakan ini juga menunjukkan bagaimana media sosial telah menjadi alat penting dalam mengekspresikan ketidakpuasan sosial. Di era digital, protes tidak selalu harus diwujudkan dalam bentuk demonstrasi fisik. 

Sebaliknya, media sosial telah memungkinkan generasi muda untuk menciptakan gerakan protes yang bersifat global, di mana mereka dapat berbagi pengalaman dan mencari dukungan dari komunitas global yang mengalami nasib serupa. 

Kepasrahan atau Solidaritas?

Meskipun gerakan #desperate tampaknya diwarnai oleh rasa putus asa, kita juga dapat melihat adanya elemen solidaritas yang kuat di dalamnya. Courtney, dengan membagikan template banner #desperate, memungkinkan orang lain yang berada dalam situasi yang sama untuk merasa terhubung dan didukung. 

Hanna, Elena, dan ribuan pengguna LinkedIn lainnya yang mengadopsi banner tersebut menunjukkan bahwa mereka tidak sendirian dalam mengekspresikan frustrasi sosial yang mereka hadapi. 

Solidaritas ini penting karena memungkinkan individu untuk merasa bahwa mereka adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar. Dalam menghadapi kesulitan mendapatkan pekerjaan, rasa kebersamaan ini bisa menjadi sumber kekuatan dan harapan. 

Alih-alih menyerah, penggunaan tagar #desperate dapat dilihat sebagai cara bagi generasi muda untuk tetap melawan ketidakadilan, meskipun dalam konteks yang berbeda dari protes tradisional.

Di sisi lain fenomena ini juga mencerminkan perubahan besar dalam cara generasi muda memandang kegagalan dan kesuksesan. Di masa lalu, kegagalan dalam dunia profesional sering kali disembunyikan atau dianggap sebagai sesuatu yang memalukan. Namun, generasi Z, yang tumbuh di era digital, lebih terbuka dalam mengakui kegagalan mereka. Mereka tidak hanya berbagi cerita sukses, tetapi juga kesulitan dan tantangan yang mereka hadapi.

Kesimpulan

Tagar #desperate di LinkedIn, mencerminkan protes sosial yang lebih dalam terhadap sistem pasar kerja yang dianggap tidak adil. Keterbatasan kesempatan kerja tidak hanya dirasakan di satu negara, tetapi merupakan masalah global yang memengaruhi generasi muda di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.

Dengan menggunakan media sosial sebagai alat untuk mengekspresikan ketidakpuasan mereka, generasi Z telah menunjukkan bahwa mereka tidak akan diam dalam menghadapi ketidakadilan. 

Tagar #desperate, meskipun diwarnai dengan keputusasaan, pada akhirnya menjadi simbol solidaritas dan kekuatan kolektif dalam menghadapi tantangan pasar kerja yang semakin sulit.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun