LinkedIn, platform yang awalnya diciptakan sebagai tempat jejaring profesional, telah berkembang menjadi lebih dari sekadar media untuk berbagi pencapaian karier.Â
Di dalamnya kini bermunculan berbagai curahan hati, keputusasaan, dan protes terselubung, seperti yang terlihat melalui tren tagar "desperate." Tagar ini digunakan oleh pengguna, terutama generasi Z, yang secara terbuka mengekspresikan kekecewaan mereka terhadap realitas pasar kerja yang keras.
Bermula dari Courtney Summer Myers (28), seorang desainer grafis dan illustrator, memulai tagar #desperate sebagai respons atas kekecewaannya setelah diberhentikan dari pekerjaannya dan gagal mendapatkan pekerjaan baru, meskipun telah melamar sekitar 600 pekerjaan selama 10 bulan.Â
Courtney, dalam keputusasaan, menciptakan bingkai foto dengan tagar #desperate, menggunakan warna merah muda sebagai simbol yang berbeda dari warna hijau yang umumnya diasosiasikan dengan status "tersedia untuk bekerja" di LinkedIn.
Unggahan Courtney yang mengekspresikan kegelisahannya segera mendapatkan perhatian luas di platform tersebut, mencapai 426 ribu likes dan 9,5 ribu komentar, dengan banyak orang memberikan dukungan maupun kritik. Courtney bahkan membagikan template banner #desperate agar mereka yang senasib seperjuangan dapat menggunakannya di profil LinkedIn mereka.
Tagar #Desperate kemudian segera meluas dan diadopsi oleh profesional muda di berbagai negara. Salah satu di antaranya adalah Hanna McFadyen (22), seorang desainer kreatif asal Skotlandia, yang mengaku telah melamar 20 pekerjaan setiap hari sejak ia meninggalkan pekerjaannya pada April 2024. Hanna merasa bahwa penggunaan banner #desperate adalah cara baginya untuk mengekspresikan rasa frustrasinya terhadap pasar kerja yang penuh tantangan.
Selain itu, Elena Carballo (29), seorang spesialis desain UX dari Barcelona, juga ikut menggunakan banner #desperate di profil LinkedIn-nya. Elena mengalami nasib yang mirip dengan Courtney setelah ia kehilangan pekerjaannya pada tahun 2023.Â
Melalui pengakuan mereka di media sosial, Hanna dan Elena menunjukkan bagaimana tagar #desperate merepresentasikan realitas global yang dialami generasi muda di berbagai negara.
Kesamaan dengan Kondisi di Indonesia
Cerita Courtney, Hanna, dan Elena seakan mencerminkan apa yang dirasakan oleh generasi Z di Indonesia. Di tengah pertumbuhan ekonomi yang tidak merata dan peningkatan kompetisi di pasar kerja, banyak generasi muda di Indonesia menghadapi tantangan yang serupa.Â
Sebagaimana liputan media Kompas beberapa bulan belakangan, bahwa tingginya angka pengangguran di kalangan lulusan perguruan tinggi dan keterbatasan kesempatan kerja menciptakan rasa frustrasi yang mendalam. Banyak dari mereka yang terjebak dalam pekerjaan kontrak yang tidak stabil atau harus beralih ke sektor informal untuk bertahan hidup (Kompas.id, 2024).