Pilkada serentak tahun 2024 di Kabupaten Ende akan diikuti oleh empat pasangan calon, yaitu Eikos Emanuel Rede dan Awaludin; Dr. Laurentius D. Gadi Djou, Akt dan Damran I. Baleti, S.E.; Drs. Djafar Achmad, M.M. dan Yustinus Sani, S.E.; serta Yosef Benediktus Badeoda, S.H., M.H. dan Dr. drg. Dominikus Minggu, M.Kes.Â
Setiap pasangan calon memiliki kesempatan untuk memanfaatkan isu migrasi nonprosedural sebagai bagian dari kampanye mereka, mengingat isu ini memiliki dampak langsung terhadap kehidupan masyarakat Kabupaten Ende, khususnya keluarga yang anggota keluarganya bekerja di luar negeri.
Migrasi nonprosedural sering kali berkaitan dengan masalah kemiskinan, kurangnya akses pendidikan, dan minimnya kesempatan kerja di daerah asal.Â
Oleh karena itu, solusi yang diusulkan oleh para calon bupati dan wakil bupati dalam kampanye mereka harus mencakup upaya penanganan akar permasalahan tersebut. Misalnya, program peningkatan keterampilan dan pelatihan bagi calon pekerja migran, penyediaan akses informasi mengenai mekanisme migrasi legal, serta kerja sama dengan instansi pemerintah dan organisasi non-pemerintah dalam memberikan perlindungan dan advokasi bagi pekerja migran.
Namun, dalam konteks kampanye politik, ada risiko bahwa isu migrasi nonprosedural dapat dimanfaatkan secara populis, di mana janji-janji kampanye mungkin tidak diikuti oleh implementasi kebijakan yang nyata setelah pemilihan. Oleh karena itu, masyarakat harus kritis dalam menilai sejauh mana program yang ditawarkan oleh para calon pemimpin dapat memberikan solusi yang berkelanjutan dan efektif.
Isu Migrasi Nonprosedural dengan Kampanye Politik
Dalam konteks kampanye Pilkada 2024, para calon pemimpin diharapkan mampu merumuskan kebijakan yang mengaitkan isu migrasi nonprosedural dengan program pembangunan daerah.Â
Misalnya, pasangan calon dapat mempromosikan program yang berfokus pada peningkatan keterampilan kerja bagi masyarakat lokal, terutama bagi calon pekerja migran. Hal ini dapat mencakup pelatihan kejuruan, pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), serta penyediaan akses modal bagi masyarakat yang ingin membuka usaha di daerah asal.
Selain itu, para calon juga dapat memanfaatkan kampanye mereka untuk mengadvokasi kerja sama antarinstansi dalam mengatasi masalah migrasi nonprosedural. Hal ini termasuk memperkuat koordinasi antara pemerintah daerah, lembaga keagamaan, dan organisasi masyarakat sipil dalam memberikan edukasi dan perlindungan bagi pekerja migran. Kolaborasi ini dapat menjadi bagian dari strategi kampanye yang menekankan pentingnya pendekatan holistik dalam menangani masalah migrasi nonprosedural.
Isu migrasi nonprosedural juga dapat dikaitkan dengan kebijakan pembangunan infrastruktur dan peningkatan layanan publik. Misalnya, para calon pemimpin dapat berjanji untuk meningkatkan akses terhadap pendidikan dan kesehatan di daerah-daerah yang menjadi kantong migrasi, sehingga masyarakat memiliki alternatif lain selain bermigrasi secara nonprosedural. Program-program ini tidak hanya akan membantu mencegah migrasi nonprosedural, tetapi juga akan meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara keseluruhan.
Meskipun ada potensi besar bagi para calon pemimpin untuk menjadikan isu migrasi nonprosedural sebagai bagian integral dari kampanye mereka, terdapat beberapa tantangan yang perlu dihadapi.Â
Pertama, terdapat risiko bahwa isu ini hanya akan menjadi slogan kampanye tanpa tindak lanjut yang konkret setelah pemilihan. Oleh karena itu, masyarakat harus memastikan bahwa para calon pemimpin memiliki komitmen yang jelas dan strategi implementasi yang terukur dalam menangani masalah migrasi nonprosedural.