Mohon tunggu...
Hen Ajo Leda
Hen Ajo Leda Mohon Tunggu... Buruh - buruh tani separuh hati

menulis dan bercerita tentang segala hal, yang ringan-ringan saja

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Keterpurukan Ekonomi dan Ancaman Politisasi Bansos Menjelang Pilkada Serentak 2024

11 Agustus 2024   22:09 Diperbarui: 11 Agustus 2024   22:09 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Sumber Gambar: (KOMPAS/HERYUNANTO)

Keterpurukan Ekonomi dan Ancaman Politisasi Bansos Menjelang Pilkada Serentak 2024

Kondisi ekonomi Indonesia pada pertengahan tahun 2024 menghadapi tantangan berat. Salah satu isu yang mencuat adalah penurunan daya beli masyarakat yang secara langsung mempengaruhi konsumsi rumah tangga.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi rumah tangga pada kuartal II-2024 hanya tumbuh sebesar 4,93%, lebih rendah dibandingkan pertumbuhan pada periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai 5,22% (bps.go.id, 2024).

Penurunan ini mengindikasikan bahwa masyarakat mengalami kesulitan dalam mempertahankan tingkat konsumsi yang seharusnya menjadi motor penggerak utama perekonomian nasional. 

Penurunan konsumsi rumah tangga ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti terkikisnya pendapatan masyarakat, meningkatnya jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) terutama di sektor padat karya, dan fenomena deindustrialisasi yang menghambat penciptaan lapangan kerja formal (https://www.cnbcindonesia.com, 8 Agustus 2024).

Di tengah kondisi ekonomi yang memprihatinkan ini, desakan agar pemerintah segera mengeluarkan paket kebijakan yang dapat meningkatkan daya beli masyarakat semakin menguat. Pemerintah didesak untuk melakukan intervensi yang tepat. Jika tampa intervensi kebijakan, maka penurunan daya beli masyarakat akan terus berlanjut, menghambat pemulihan ekonomi nasional (https://www.cnbcindonesia.com, 10 Agustus 2024).

Pemerintah didesak memberikan insentif pajak dan subsidi sumber daya manusia (SDM) untuk mendukung terciptanya lapangan kerja formal, serta paket kebijakan khusus untuk mendorong konsumsi rumah tangga, bahkan bantuan subsidi upah (BSU) dan atau BANSOS seperti yang diberikan saat pandemi Covid-19 (https://www.cnbcindonesia.com, 8 Agustus 2024).

Namun demikian, dalam konteks yang lebih luas, terutama menjelang Pilkada serentak yang akan diselenggarakan pada 24 November 2024, kondisi ekonomi yang terpuruk ini membawa ancaman lain yang tidak kalah serius, yakni politisasi bantuan sosial (bansos) oleh elit politik. 

Dalam situasi di mana daya beli masyarakat melemah dan banyak yang kehilangan pekerjaan, bansos menjadi salah satu instrumen yang sangat diandalkan masyarakat untuk bertahan hidup. 

Pemanfaatan Bansos sebagai Alat Politik

Pemanfaatan bantuan sosial (bansos) sebagai alat politik untuk mendulang suara dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) sering kali terkait erat dengan praktik patronase dan klientelisme. 

Kedua konsep ini menggambarkan hubungan yang saling menguntungkan antara kandidat politik dan masyarakat pemilih, di mana bantuan atau sumber daya tertentu ditukar dengan dukungan politik yang loyal. 

Dalam konteks Pilkada, bansos, baik yang berasal dari sumber daya negara maupun sumber daya pribadi, menjadi instrumen utama dalam membangun dan mempertahankan basis dukungan ini.

Patronase merujuk pada praktik di mana kandidat atau politisi yang memiliki kekuasaan atau akses terhadap sumber daya menggunakan posisi mereka untuk memberikan manfaat langsung kepada individu atau kelompok tertentu sebagai imbalan atas dukungan politik. 

Sementara itu, klientelisme adalah hubungan timbal balik di mana pemilih mendukung kandidat tertentu dengan harapan akan menerima manfaat atau bantuan di masa depan. Kedua konsep ini sering kali berjalan beriringan dalam politik lokal, terutama di negara-negara dengan sistem demokrasi yang masih berkembang, seperti Indonesia.

Hubungan patron-klien sering kali difasilitasi oleh distribusi bansos. Kandidat, terutama yang incumbent atau yang dekat dengan kekuasaan, memiliki akses lebih besar terhadap bansos yang didistribusikan atas nama program pemerintah. 

Bansos yang seharusnya didistribusikan secara merata dan sesuai kebutuhan, sering kali digunakan secara strategis untuk menarik simpati dan dukungan dari masyarakat pemilih, terutama di kalangan mereka yang berada dalam kondisi ekonomi yang rentan.

Kandidat yang memiliki hubungan dekat dengan konglomerat atau kelompok bisnis besar juga sering kali menggunakan sumber daya pribadi atau bantuan yang disalurkan melalui jaringan bisnis mereka untuk tujuan yang sama. Dalam situasi ini, bansos bukan hanya dilihat sebagai alat untuk membantu masyarakat, tetapi juga sebagai investasi politik yang dapat mendatangkan keuntungan elektoral.

Implikasi bagi Demokrasi

Praktik patronase dan klientelisme melalui pemanfaatan bansos dalam Pilkada memiliki implikasi serius bagi demokrasi. 

Pertama, hal ini menciptakan ketidakadilan dalam proses politik, di mana kandidat yang memiliki akses lebih besar terhadap sumber daya memiliki keuntungan yang tidak adil dibandingkan kandidat lainnya. 

Kedua, praktik ini mengaburkan batas antara kebijakan publik dan kepentingan pribadi, yang pada akhirnya dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap integritas proses pemilu.

Masyarakat pemilih yang menjadi klien dalam hubungan ini cenderung mendukung kandidat berdasarkan manfaat langsung yang mereka terima, bukan berdasarkan penilaian objektif terhadap program dan visi yang ditawarkan. 

Hal ini dapat menyebabkan terpilihnya pemimpin yang tidak kompeten atau yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi daripada kepentingan publik. Dengan demikian, patronase dan klientelisme tidak hanya mengancam kualitas demokrasi, tetapi juga berpotensi memperburuk kondisi ekonomi dan sosial masyarakat dalam jangka panjang.

Kesimpulan

Pemanfaatan bansos sebagai alat politik dalam Pilkada mengakar kuat dalam praktik patronase dan klientelisme yang masih mewarnai politik lokal di Indonesia. 

Kandidat yang memiliki akses terhadap sumber daya, baik dari negara maupun pribadi, memanfaatkan bansos untuk membangun dan mempertahankan dukungan politik. 

Praktik ini tidak hanya menciptakan ketidakadilan dalam proses politik, tetapi juga berpotensi merusak kualitas demokrasi. 

Karena itu, perlu ada upaya serius untuk mengawasi dan mencegah politisasi bansos, guna memastikan bahwa bantuan sosial benar-benar digunakan untuk membantu masyarakat yang membutuhkan, bukan untuk kepentingan politik semata.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun