Dalam konteks Pilkada, bansos, baik yang berasal dari sumber daya negara maupun sumber daya pribadi, menjadi instrumen utama dalam membangun dan mempertahankan basis dukungan ini.
Patronase merujuk pada praktik di mana kandidat atau politisi yang memiliki kekuasaan atau akses terhadap sumber daya menggunakan posisi mereka untuk memberikan manfaat langsung kepada individu atau kelompok tertentu sebagai imbalan atas dukungan politik.Â
Sementara itu, klientelisme adalah hubungan timbal balik di mana pemilih mendukung kandidat tertentu dengan harapan akan menerima manfaat atau bantuan di masa depan. Kedua konsep ini sering kali berjalan beriringan dalam politik lokal, terutama di negara-negara dengan sistem demokrasi yang masih berkembang, seperti Indonesia.
Hubungan patron-klien sering kali difasilitasi oleh distribusi bansos. Kandidat, terutama yang incumbent atau yang dekat dengan kekuasaan, memiliki akses lebih besar terhadap bansos yang didistribusikan atas nama program pemerintah.Â
Bansos yang seharusnya didistribusikan secara merata dan sesuai kebutuhan, sering kali digunakan secara strategis untuk menarik simpati dan dukungan dari masyarakat pemilih, terutama di kalangan mereka yang berada dalam kondisi ekonomi yang rentan.
Kandidat yang memiliki hubungan dekat dengan konglomerat atau kelompok bisnis besar juga sering kali menggunakan sumber daya pribadi atau bantuan yang disalurkan melalui jaringan bisnis mereka untuk tujuan yang sama. Dalam situasi ini, bansos bukan hanya dilihat sebagai alat untuk membantu masyarakat, tetapi juga sebagai investasi politik yang dapat mendatangkan keuntungan elektoral.
Implikasi bagi Demokrasi
Praktik patronase dan klientelisme melalui pemanfaatan bansos dalam Pilkada memiliki implikasi serius bagi demokrasi.Â
Pertama, hal ini menciptakan ketidakadilan dalam proses politik, di mana kandidat yang memiliki akses lebih besar terhadap sumber daya memiliki keuntungan yang tidak adil dibandingkan kandidat lainnya.Â
Kedua, praktik ini mengaburkan batas antara kebijakan publik dan kepentingan pribadi, yang pada akhirnya dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap integritas proses pemilu.
Masyarakat pemilih yang menjadi klien dalam hubungan ini cenderung mendukung kandidat berdasarkan manfaat langsung yang mereka terima, bukan berdasarkan penilaian objektif terhadap program dan visi yang ditawarkan.Â
Hal ini dapat menyebabkan terpilihnya pemimpin yang tidak kompeten atau yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi daripada kepentingan publik. Dengan demikian, patronase dan klientelisme tidak hanya mengancam kualitas demokrasi, tetapi juga berpotensi memperburuk kondisi ekonomi dan sosial masyarakat dalam jangka panjang.