Mohon tunggu...
Hen Ajo Leda
Hen Ajo Leda Mohon Tunggu... Buruh - pengajar dan pegiat literasi, sekaligus seorang buruh tani separuh hati

menulis dan bercerita tentang segala hal, yang ringan-ringan saja

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Karhutla di Nusa Tenggara Timur, Siapa yang Harus Bertanggung Jawab?

3 Agustus 2024   00:40 Diperbarui: 4 Agustus 2024   13:49 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI Karhutla | Image by Freepik

Mengulas tentang Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagai salah satu provinsi di Indonesia, yang memiliki tantangan sosial ekonomi dan lingkungan hidup yang sungguh riskan, memang tak akan pernah habis. Mulai dari isu kemiskinan, kesenjangan ekonomi, korupsi hingga isu-isu lingkungan hidup, semuanya merupakan persoalan yang kompleks dan tak akan selesai dalam satu pembahasan.

Isu yang terakhirlah yakni lingkungan hidup akan diberi tempat dan ruang dalam artikel ini. Salah satu isu lingkungan cukup genting untuk dibahas adalah kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang tengah terjadi di NTT.

Pasalnya, kebakaran hutan dan lahan (karhutla), telah menjadi masalah berulang dan memberikan dampak serius bagi masyarakat dan lingkungan. Dalam bulan Juli 2024, data dari Pusdalops Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi NTT mencatat 11 kejadian bencana, dengan karhutla sebagai yang paling sering terjadi (rri.co.id, 02 Agustus 2024). 

Pada tahun 2023 lalu, Kompas mencatat ada 50.397 hektar hutan di NTT terbakar pada periode Januari-Agustus 2023, yang tersebar di 18 kabupaten/kota di NTT. Kasus terbesar terjadi Mei-Agustus saat kawasan NTT mulai mengalami kekeringan. Kebakaran terluas terjadi di Kabupaten Sumba Timur mencapai 15.819 hektar, menyusul Kabupaten Alor 8.966 hektar, dan Sumba Tengah seluas 7.793 hektar, dan terkecil di Kabupaten Sabu Raijua, yakni 7 hektar (Kompas, 2023).

Karhutla berdampak luas, baik terhadap kerusakan skosistem lingkungan, kerusakan material, maupun kehidupan sosial masyarakat. Dampak-dampak ini mengganggu mobilitas dan aksesibilitas masyarakat serta mempengaruhi kesejahteraan ekonomi masyarakat sekitar.

Badan Meterologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) NTT mencatat bahwa, lokasi karhutla selalu berulang di tempat yang sama pada setiap tahun. Penyebab kebakaran diduga karena perilaku masyarakat yang disengaja, secara kebetulan, atau ada aktivitas warga setempat yang menggunakan api, seperti membuang puntung rokok atau kemah. Dengan kondisi cuaca ekstrem seperti kekeringan berkepanjangan memperburuk risiko kebakaran hutan secara cepat dan meluas (Antaranews.com, 31 Juli 2024)

Selain faktor perilaku, faktor sosial ekonomi seperti tingginya angka kemiskinan dan ketimpangan sosial di NTT juga berkontribusi pada masalah ini. Masyarakat yang berjuang secara ekonomi cenderung menggunakan metode pertanian yang merusak lingkungan untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Banyak masyarakat di NTT masih bergantung pada metode pertanian tradisional yang melibatkan pembakaran lahan untuk membersihkan area sebelum menanam. Praktik ini sering kali tidak dikelola dengan baik dan dapat dengan cepat menjadi tidak terkendali, menyebabkan kebakaran yang meluas.

Selain faktor kedua faktor tersebut, kurangnya pengawasan dan penegakan hukum oleh pemerintah terhadap praktik pembakaran hutan dan lahan. Ketidakmampuan pemerintah untuk menindak praktik karhutla, membuat upaya pencegahan dan penanggulangannya menjadi sulit diatasi.

Karhutla di NTT: Tanggungjawab Siapa?

Karhutla yang terjadi di NTT sejatinya menjadi tanggungjawab kolektif. Maka untuk menangani masalah karhutla secara efektif, tanggung jawab harus dibagi di antara berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah dan desa, masyarakat, lembaga pendidikan, agama dan LSM.

Pemerintah baik kabupaten, kecamatan maupun desa/kelurahan, memiliki tanggung jawab utama dalam pencegahan dan penanggulangan karhutla. Ini termasuk memfasilitasi pencegagan kebakaran, pengembangan kebijakan yang mendukung praktik pertanian berkelanjutan, pengentasan kemiskinan dan kesenjangan ekonomi, penegakan hukum terhadap praktik pembakaran lahan ilegal, serta meningkatkan kapasitas unit terkait seperti BPBD dalam melakukan penanggulangan bencana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun