Peran Krusial dan Tantangan Ibu Menyusui dalam Mewujudkan Generasi Emas Indonesia
Perempuan memegang peran penting dalam upaya membawa Indonesia menuju kejayaan pada tahun 2045, terutama dalam kapasitas mereka sebagai ibu. Peran sebagai Ibu memiliki tanggung jawab besar dalam melahirkan dan membesarkan generasi penerus bangsa yang akan memimpin Indonesia di masa depan.Â
Peran ini dimulai dari masa kehamilan hingga masa menyusui (laktasi) sebagai tahap penting dalam proses menyusui mulai dari ASI di produksi sampai proses bayi menghisap dan menelan ASI (Kompas.com, 2024).
Dalam proses laktasi, ibu harus menghasilkan ASI yang berkualitas yang kaya akan nutrisi esensial seperti protein, lemak, vitamin, dan mineral mencukupi kebutuhan gizi bayi, yang memiliki manfaat luar biasa bagi bayi (Kompas.id, 2 Agustus 2023).
ASI juga mengandung oligosakarida yang berperan dalam memperkuat sistem kekebalan tubuh bayi, melindungi dari berbagai penyakit seperti infeksi telinga, kulit, dan saluran pernapasan, membantu merangsang perkembangan otak, membuat bayi cenderung lebih cerdas dan mencegah stunting.Â
Tidak hanya bayi, ibu juga mendapatkan manfaat signifikan dari menyusui. Proses menyusui membantu ibu menurunkan risiko penyakit kardiovaskular dan mengembalikan berat badan ke kondisi sebelum hamil. Selain itu, menyusui memperkuat hubungan emosional antara ibu dan bayi, membangun ikatan yang erat dan berkelanjutan (Kompas.id, 2 Agustus 2023).
Agar dapat produksi ASI, ibu membutuhkan bantuan dua hormon ajaib, yaitu prolaktin dan oksitosin. Hormon prolaktin pada wanita berperan dalam merangsang kelenjar susu untuk memproduksi ASI dan fungsi sel tubuh lainnya (Basrowi, 2023).
Sedangkan hormon oksitosin diproduksi oleh kelenjar pituitari di otak yang juga penting untuk kelancaran ASI. Jika hormon pada tubuh ibu terganggu maka bisa menyebabkan ASI tidak lancar. Karena itu kedua hormon ini harus bersinergi untuk menghasilkan ASI yang berkualitas dan tanpa kekurangan.
Hormon oksitosin yang dikenal sebagai hormon kebahagiaan (happy hormone), sehingga produksi hormon oksitosin ini sangat dipengaruhi kondisi kejiwaan ibu, pikiran, perasaan dan emosi ibu. Misalnya perasaan senang mendapatkan perhatian serta dukungan suami dan keluarga terdekat (Kompas.id, 22 Desember 2023).
Dengan demikian, peran suami, keluarga dan orang-orang terdekat sangat penting dalam memberikan dukungan emosional dan fisik kepada ibu menyusui dapat meningkatkan produksi ASI dan kualitas menyusui secara keseluruhan.
Di Indonesia menurut Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan bahwa pada tahun 2023, 73,97% bayi berusia di bawah 6 bulan di Indonesia menerima air susu ibu (ASI) eksklusif. Angka ini terus meningkat selama lima tahun berturut-turut.
Persentase bayi yang mendapatkan ASI eksklusif secara nasional pada tahun 2023 meningkat sebesar 2,68% dibandingkan tahun sebelumnya yang berada pada angka 72,04% (https://databoks.katadata.co.id, 09 Januari 2024).Â
Meskipun tren bayi yang menerima air susu ibu (ASI) eksklusif atau di bawah usia 6 bulan di Indonesia semakin membaik, namun data menunjukkan bahwa tantangan dalam penerapannya masih signifikan, khususnya tantangan yang dihadapi oleh ibu sebagai produsen ASI.
Tantangan utama adalah datang dari ibu yang bekerja. Persentase pemberian ASI eksklusif di kalangan ibu bekerja lebih rendah (66,30%) dibandingkan ibu yang tidak bekerja (74,21%). Peningkatan jumlah perempuan yang bekerja menunjukkan perlunya solusi yang mendukung pemberian ASI eksklusif bagi ibu bekerja  (Kompas.id, 22 Desember 2023).
Banyak ibu pekerja yang mengalami kesulitan dalam menyusui karena beberapa tantangan yang dihadapi, misalnya: pertama, ibu menyusui sering menghadapi beban ganda yang mengorbankan kebahagiaan mereka. Mereka harus menjalankan peran sebagai ibu dan pekerja sekaligus, yang sering kali mengakibatkan stres dan kelelahan.
Kedua, ibu pekerja, terutama yang harus kembali bekerja setelah cuti hamil, sering menghadapi konflik kejiwaan antara tuntutan pekerjaan dan kebutuhan bayi mereka.Â
Mereka harus memilih antara bekerja untuk mendukung ekonomi keluarga atau tetap di rumah untuk menyusui bayi mereka. Studi menunjukkan bahwa ibu yang kembali bekerja setelah cuti hamil yang singkat, seperti tiga bulan, menghadapi kesulitan dalam menyusui. Mereka harus meninggalkan bayi mereka dengan ASI perah yang tidak selalu cukup (Triaryati, 2003).Â
Ketiga, banyak ibu menyusui  merasa tidak bahagia karena kurangnya dukungan dari suami dan keluarga terdekat. Dukungan ini sangat penting untuk keberhasilan menyusui, terutama dalam menjaga kondisi kejiwaan ibu yang berpengaruh pada produksi ASI.
Keempat, banyak ibu pekerja, terutama buruh pabrik, menghadapi kondisi kerja yang tidak mendukung menyusui. Mereka sering kali harus memompa ASI di tempat yang tidak layak, seperti toilet pabrik, dan menghadapi tuntutan pekerjaan yang membuat mereka memilih berhenti menyusui.
Kelima, masalah lain yang sering dialami oleh ibu menyusui adalah kualitas tidur yang buruk, yang berdampak pada kesehatan fisik dan mental sang ibu. Menariknya, kualitas tidur yang buruk ini tidak selalu dialami oleh suami, menunjukkan bahwa belum ada kesetaraan dalam peran laktasi.
Tantangan-tantangan ini menunjukkan bahwa untuk mendukung ibu pekerja dalam menyusui, diperlukan dukungan yang lebih baik dari keluarga, lingkungan kerja yang lebih ramah laktasi, kebijakan publik yang mendukung, dan perubahan budaya yang mengakui pentingnya peran suami dan keluarga dalam mendukung ibu menyusui.
Perlunya kesadaran masyarakat, terutama keluarga tentang pentingnya dukungan bagi ibu menyusui melalui kampanye publik dan program edukasi. Kampanye ini dapat dilakukan melalui media sosial, iklan, seminar, dan acara komunitas.Â
Tujuannya adalah untuk mengubah persepsi masyarakat tentang menyusui dan menciptakan lingkungan yang lebih mendukung bagi ibu menyusui. Dengan meningkatnya kesadaran publik, diharapkan lebih banyak orang yang memberikan dukungan dan menghargai upaya ibu dalam menyusui.
Dukungan dari kebijakan pemerintah yang mendukung ibu menyusui sangat diperlukan untuk mengatasi tantangan ini. Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 menggarisbawahi pentingnya ASI eksklusif sebagai hak bayi tanpa tambahan makanan atau minuman lain. Kebijakan ini seharusnya menekankan kebahagiaan ibu sebagai indikator utama keberhasilan menyusui dan kesehatan anak.
Pemerintah dan perusahaan perlu memperpanjang durasi cuti melahirkan hingga enam bulan. Dengan demikian, ibu memiliki waktu yang cukup untuk menyusui bayi secara eksklusif dan memulihkan kesehatannya setelah melahirkan. Kebijakan ini juga harus menjamin bahwa ibu tidak akan mengalami diskriminasi atau kehilangan kesempatan karier karena mengambil cuti yang lebih lama.
Selain itu, tempat kerja harus menyediakan ruang menyusui yang nyaman, bersih, dan privat. Ruangan ini harus dilengkapi dengan kursi yang nyaman, fasilitas penyimpanan ASI, dan fasilitas sanitasi yang memadai. Dengan adanya ruang menyusui yang layak, ibu dapat memompa ASI dengan tenang dan higienis selama jam kerja.
Layanan konseling dan dukungan psikologis bagi ibu menyusui sangat penting untuk mengurangi stres dan meningkatkan produksi ASI. Dukungan psikologis ini juga dapat membantu ibu merasa lebih didukung dan dihargai, yang berdampak positif pada kesehatan mental mereka.
Dengan demikian diharapkan ibu terutama yang bekerja, dapat memberikan ASI eksklusif dengan lebih mudah, efektif dan berkualitas. Hal ini tidak hanya akan berdampak positif bagi kesehatan ibu dan bayi, tetapi juga akan membantu menciptakan generasi penerus yang lebih sehat dan cerdas, yang siap memimpin Indonesia menuju kejayaan pada tahun 2045.
Pada akhirnya perlunya kita mengucapkan: Selamat Hari ASI Sedunia, 1 Agustus 2024.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H