Data Pribadi dan Hak Asasi Manusia
PerlindunganPerlindungan data pribadi merupakan isu yang semakin penting dalam konteks hak asasi manusia, terutama di era digital saat ini. Dengan meningkatnya pengguna internet, tantangan besar dalam melindungi data pribadi dari berbagai ancaman, termasuk peretasan dan penyalahgunaan data.Â
Meskipun telah ada regulasi yang mengatur perlindungan data pribadi, seperti Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) diharapkan dapat memberikan perlindungan lebih kuat terhadap data pribadi warga negara. Selain itu, undang-Undang No. 11 Tahun 2018 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi Dalam Sistem Elektronik.
Namun, implementasi sejumlah peraturan ini masih menghadapi berbagai tantangan, termasuk kurangnya kesadaran masyarakat tentang hak-hak mereka terkait data pribadi dan kurangnya penegakan hukum yang efektif. Banyak celah dalam sistem yang memungkinkan kebocoran data, sehingga perlindungan yang ada belum efektif.
Laporan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) bahwa, antara tahun 2019 hingga Mei 2024, menangani 124 kasus dugaan pelanggaran perlindungan data pribadi, dengan 111 di antaranya merupakan kasus kebocoran data. Mayoritas kasus melibatkan data yang tidak dienkripsi, sehingga lebih rentan terhadap kebocoran. Kemenkominfo menyatakan bahwa hanya dua kasus yang melibatkan data yang telah dienkripsi.
Pada tahun 2022, terjadi beberapa insiden kebocoran data besar di Indonesia, termasuk data 105 juta pemilih yang diduga bocor dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan data pelanggan IndiHome. Kasus ini melibatkan penjual data di forum gelap, yang menimbulkan kekhawatiran serius tentang privasi dan keamanan data pribadi. Insiden-insiden ini menunjukkan bahwa perlindungan data pribadi di Indonesia masih jauh dari kata sempurna.
Kasus kebocoran data tidak hanya terjadi di Indonesia. Insiden kebocoran data Facebook ke Cambridge Analytica pada tahun 2018 menjadi sorotan global. Data dari sekitar 80 juta pengguna digunakan untuk memanipulasi opini publik dalam kampanye politik. Kasus ini menunjukkan betapa pentingnya perlindungan data pribadi dalam menjaga integritas proses demokrasi.
Sebelum pemilihan umum (Pemilu) 2024, terjadi dugaan kebocoran data pemilih yang dikelola oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Data ini diduga bocor akibat peretasan, yang dapat mengganggu kredibilitas KPU. Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) telah menyerahkan hasil investigasi terkait masalah ini kepada KPU, yang diharapkan segera melakukan investigasi lebih lanjut untuk mencegah spekulasi publik.
Pada tanggal 20 Juni 2024, grup ransomware Brain Chiper berhasil membobol Pusat Data Nasional Sementara (PDNS), mengunci data di 282 kementerian dan lembaga. Mereka meminta tebusan sebesar 8 juta dolar AS untuk membuka data yang terkunci. Ini merupakan salah satu serangan ransomware terbesar yang menargetkan infrastruktur pemerintah Indonesia.
Kebocoran data pribadi tidak hanya merugikan individu tetapi juga dapat menyebabkan kerugian finansial yang signifikan bagi perusahaan. Banyak individu melaporkan kehilangan uang dari rekening bank dan saldo e-wallet akibat kebocoran data. Survei menunjukkan bahwa 44,1% responden mengalami pengurangan uang di rekening mereka, sementara 32,2% kehilangan saldo e-wallet. Kerugian finansial ini menunjukkan dampak nyata dari kebocoran data pribadi.
Selain kerugian finansial, kebocoran data pribadi juga dapat menyebabkan hilangnya kepercayaan pelanggan dan biaya pemulihan yang tinggi bagi perusahaan. Kepercayaan pelanggan adalah aset berharga bagi perusahaan, dan kebocoran data dapat merusak reputasi perusahaan dalam jangka panjang. Biaya pemulihan yang tinggi juga menunjukkan bahwa investasi dalam perlindungan data pribadi adalah hal yang sangat penting bagi perusahaan.