Dari 101 perguruan tinggi negeri, hanya 27 yang menawarkan program studi ini, dan mayoritas berada di Pulau Jawa. Daya tampung yang terbatas juga menjadi kendala, dengan total kapasitas hanya 1.262 mahasiswa per tahun (Kompas.id, 7 Juli 2024).
Selain itu, minat terhadap program studi Ilmu Perpustakaan di luar Pulau Jawa sangat rendah. Ini menciptakan ketimpangan geografis dalam distribusi pustakawan, di mana daerah-daerah di luar Jawa kekurangan pustakawan yang kompeten.Â
Bahkan di perguruan tinggi favorit, persaingan untuk masuk ke program studi ini sangat ketat, yang menunjukkan tingginya minat tetapi tidak diimbangi dengan kapasitas yang memadai (Kompas.id, 7 Juli 2024).
Krisis kekurangan pustakawan di Indonesia mencerminkan permasalahan serius dalam sistem pendidikan dan upaya meningkatkan literasi di negara ini.Â
Peran vital pustakawan dalam memajukan kemampuan membaca dan menulis masyarakat, serta mengembangkan kemampuan berpikir kritis, menjadi semakin penting.
Namun, tantangan krisis pustakawan tetap menjadi hal yang perlu diatasi.
Rendahnya Literasi dan Ketimpangan Pengetahuan di Indonesia
Krisis pustakawan cukup relevan berkorelasi dengan rendahnya minat baca yang merupakan salah satu masalah literasi yang masih menghantui Indonesia hingga saat ini.Â
Mengacu data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat rendah, dengan hanya 0,001 persen dari populasi yang rajin membaca.
Indeks Pembangunan Literasi Masyarakat (IPLM) pada tahun 2023 berada pada angka 69,42 (konversi 14,58) dan Tingkat Kegemaran Membaca (TGM) nasional berada di angka 66,77 (Kompas.id, 7 Juli 2024).
Selain rendahnya minat baca, ketimpangan pengetahuan mencakup rendahnya kualitas pendidikan khususnya di daerah-daerah terpencil.
Misalnya, di daerah 3T yang hanya sekitar 18,81% masyarakat yang dapat membaca dan menulis, menunjukkan kesenjangan yang signifikan dalam kemampuan literasi (https://nasional.kompas.com, 24 Oktober 2023).