Mohon tunggu...
Hen Ajo Leda
Hen Ajo Leda Mohon Tunggu... Buruh - pengajar dan pegiat literasi, sekaligus seorang buruh tani separuh hati

menulis dan bercerita tentang segala hal, yang ringan-ringan saja

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Bahaya Kampanye Hitam dalam Pilkada Serentak 2024 dan Urgensitas Literasi Politik Kritis

28 September 2024   22:35 Diperbarui: 28 September 2024   22:44 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Sumber Gambar: KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA 

Bahaya Kampanye Hitam dalam Pilkada Serentak 2024 dan Urgensitas Literasi Politik Kritis

Tahapan pengundian nomor urut pasangan calon kepalah daerah dan wakil kepala daerah telah berlangsung. Tahapan ini merupakan bagian terakhir dalam proses pencalonan, setelah sebelumnya bakal pasangan calon  ditetapkan sebagai peserta pilkada. Dan tahapan selanjutnya adalah masa kampanye yang telah dimulai sejak 25 September lalu.

Masa kampenye pilkada merupakan masa paling krusial. Sebab, pada masa kampaye para kandidat akan meyakinkan Pemilih dengan menawarkan visi, misi, program, dan/atau citra diri. Upaya meyakinkan pemilih, kampanye dapat diwujudkan dalam bergam bentuk, cara, media dan materi.

Bentuk dan cara kampanye juga beragam, ada kampaye terbuka, seperti, kampanye akbar, pertemuan umum, blusukan dan lainnya. Ada pula kampaye tertutup seperti tatap muka terbatas.

Demikian pun media dan bahan kampanye,  umumnya berbentuk selebaran, brosur, pamflet, poster, stiker, pakaian, penutup kepala, alat minum atau makan, kalender, kartu nama, pin, hingga alat tulis. Ada pula yang dikemas dengan apik dalam media sosial. Pada intinya bergam bentuk, cara, media dan materi para kandidat hendak menyampaikan "pesan-pesan" kepada pemilih.

Kendati demikian, selain bentuk dan cara kampaye sebagaimana disebutkan di atas, jamak terjadi kampaye hitam (black campain). Bentuk kampanye hitam ini bertujuan merusak reputasi lawan politik melalui berbagai bentuk serangan yang sering kali tidak berdasarkan fakta atau keadilan.

Seringkali kita jumpai, berbagai bentuk kampanye hitam marak beredar di dunia maya. Media sosial menjadi instrumen politik bagi para aktor untuk melancarkan kampanye hitam terhadap kandidat lawan. 

Kampanye hitam merujuk pada serangan politik yang menggunakan kata-kata, gambar, dan suara untuk menyerang lawan tanpa merujuk pada fakta atau keadilan. 

Praktik ini sering kali didasarkan pada asumsi, spekulasi, manipulasi, dan prasangka negatif. Bentuk serangan ini dapat berupa hasutan, provokasi, atau fitnah, dengan tujuan utama menghancurkan reputasi target. Kampanye hitam juga sering memanfaatkan isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) sebagai alat untuk menyerang lawan.

Data dari Bawaslu RI menunjukkan bahwa kampanye hitam menjadi salah satu kerawanan utama menuju Pilkada serentak 2024. Indeks Kerawanan Pemilu yang diluncurkan oleh Bawaslu RI mengungkapkan bahwa ujaran kebencian menjadi isu dominan di sekitar 50% provinsi di Indonesia. Konten hoaks atau berita bohong digunakan dalam tahapan kampanye di sekitar 30%, dan kampanye dengan muatan SARA terjadi sekitar 20% (https://www.bawaslu.go.id, 2024).

Pada tingkat kabupaten/kota, ujaran kebencian merupakan isu utama yang rentan menciptakan kerawanan dalam kampanye pemilu. Kampanye dengan ujaran kebencian berpotensi mencapai 33% wilayah kabupaten/kota, diikuti oleh kampanye yang bermuatan SARA dengan angka 27%. Kondisi ini menunjukkan betapa seriusnya ancaman kampanye hitam dalam merusak proses demokrasi (https://www.bawaslu.go.id, 2024).

Kualitas Kampanye dan Dampaknya terhadap Pemilih

Dalam perspektif komunikasi politik, kampanye bertujuan mempengaruhi opini publik melalui pesan politik yang disebarkan melalui berbagai saluran dan media. 

Kampanye seharusnya membuka ruang diskursus di mana isu-isu krusial dibahas, memberikan pemahaman yang lebih baik kepada publik mengenai kebijakan dan visi masa depan yang diusung oleh para kandidat atau partai politik.

Namun, kualitas kampanye di Indonesia sering kali buruk. Berdasarkan pengalaman Pilpres 2014, Pilkada DKI 2017, dan Pilpres 2019 2024, kampanye didominasi oleh isu personal dan identitas ketimbang kebijakan atau program yang relevan. 

Isu yang diangkat dalam kampanye menjauhkan pemilih dari persoalan riil masyarakat, bangsa, dan negara. Hal ini melahirkan narasi politik identitas, fitnah, disinformasi, dan hoaks.

Kualitas kampanye yang buruk dan maraknya kampanye hitam berdampak negatif terhadap akal sehat masyarakat. Kampanye hitam juga memicu polarisasi politik yang mengancam integritas dan stabilitas sistem politik.

Dengan demikian, kampanye hitam, yang sering kali berisi serangan personal dan disinformasi, membawa dampak negatif yang signifikan terhadap pemilih.

Pertama, kampanye semacam ini merusak proses edukasi politik. Alih-alih membangun pengetahuan pemilih tentang kebijakan dan program kandidat, kampanye hitam mengalihkan perhatian mereka ke isu-isu tidak relevan. Ini membuat pemilih lebih rentan terhadap manipulasi emosi ketimbang menilai dengan akal sehat dan logika.

Kedua, kampanye hitam juga menciptakan ketidakpercayaan terhadap proses politik. Ketika pemilih terus-menerus dihadapkan pada narasi yang penuh fitnah dan kebohongan, kepercayaan mereka terhadap integritas politik dan proses pemilu menurun. 

Hal ini bisa berakibat pada meningkatnya apatisme politik, di mana masyarakat memilih untuk tidak berpartisipasi dalam pemilu karena merasa bahwa suara mereka tidak lagi berarti di tengah suasana kampanye yang penuh kebencian dan hoaks.

Ketiga, kampanye hitam mendorong polarisasi politik yang ekstrem. Dalam banyak kasus, pemilih terbagi menjadi dua kubu yang saling berlawanan secara tajam. 

Setiap kubu merasa terancam oleh keberadaan kubu lain dan melihat politik sebagai medan pertempuran zero-sum game, di mana kemenangan satu pihak harus didapat dengan mengalahkan total pihak lain. Polarisasi ini tidak hanya membahayakan proses demokrasi yang sehat, tetapi juga berpotensi memicu konflik sosial di tingkat masyarakat.

Tugas Kita di Lapangan Literasi Kritis

Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) telah mengubah cara kita berinteraksi, mendapatkan informasi politik, dan terlibat dalam proses politik. 

Namun, penyebaran hoaks dan kampanye hitam juga meningkat seiring dengan kemajuan teknologi tersebut. Data MAFINDO (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia) menunjukkan bahwa penyebaran hoaks meningkat sebesar 24% dari tahun 2022 ke tahun 2023.

Oleh karena itu, literasi kritis menjadi sangat penting. Literasi kritis tidak hanya berarti kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga kemampuan untuk menganalisis, mempertanyakan, dan memahami informasi yang diterima. 

Literasi kritis melibatkan keterampilan analitis, pengetahuan kontekstual, dan sikap skeptis. Keterampilan analitis membantu memahami struktur dan tujuan teks, pengetahuan kontekstual memberikan pemahaman tentang isu yang lebih luas, dan sikap skeptis mendorong pemikiran kritis tentang informasi yang diterima.

Dengan demikian, upaya untuk membatasi atau menanggulangi praktik kampanye hitam dengan mengembangkan literasi kritis adalah tugas dan tanggung jawab bersama, termasuk para Kompasianer. 

Para kompasianer dapat melakukan strategi literasi kritis, antara lain adalah menyebarkan informasi yang benar dan akurat melalui akun kompasina masing-masing, mengadakan kampanye positif, pendidikan atau diskusi politik, serta melakukan aksi-aksi sosial yang dapat membangun kesadaran masyarakat akan bahaya kampanye hitam dan pentingnya pemilu yang bersih dan jujur, dilingkungan masing-masing.

Dalam konteks politik pengetahuan, literasi kritis bukan hanya alat untuk mencegah kampanye hitam, tetapi juga menopang demokrasi yang sehat dan partisipatif. 

Dengan literasi kritis yang baik, masyarakat dapat lebih kritis terhadap informasi yang mereka konsumsi, mendeteksi dan menganalisis informasi politik yang mereka terima, mempertanyakan validitas informasi, serta memisahkan fakta dari fitnah.

Melalui cara ini, masyarakat dapat mengatasi kampanye hitam dan memastikan bahwa kampanye menjadi ruang diskursus positif, di mana isu-isu krusial dibahas dan pemahaman publik tentang kebijakan dan visi masa depan kandidat meningkat. Dengan demikian, literasi kritis memainkan peran kunci dalam menjaga integritas demokrasi dan memastikan bahwa Pilkada serentak 2024 berlangsung dengan jujur dan adil. Semoga*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun