Mohon tunggu...
Hen Ajo Leda
Hen Ajo Leda Mohon Tunggu... Buruh - pengajar dan pegiat literasi, sekaligus seorang buruh tani separuh hati

menulis dan bercerita tentang segala hal, yang ringan-ringan saja

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Agresifitas Kolektif dalam Kasus Kekerasan Massa di Jawa Tengah

19 Juni 2024   21:42 Diperbarui: 19 Juni 2024   22:33 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: https://sinarlampung.co

Agresifitas Kolektif dalam Kasus Kekerasan Massa di Indonesia

Beberapa pekan lalu, pada Kamis, 06 Juni 2024, seorang pemilik rental mobil asal Jakarta, BH (52), tewas dikeroyok warga di Pati, Jawa Tengah, karena dikira maling. Tiga orang lainnya juga mengalami luka-luka akibat pemukulan itu (Kompas.id, 12 Juni 2024).

Peristiwa ini bukan sekadar insiden kekerasan yang fatal, bahwa dikeroyok oleh massa hingga meninggal dunia setelah diteriaki maling, namun akhirnya ketahuan bahwa yang dipukuli adalah pemilik mobil yang sah, semacam kemarahan kolektif yang terpendam dan diluapkan kepada pencuri.

Bila dilihat, kasus pengeroyokan ini terlihat jelas massa yang memukul korban bukan dengan tujuan mencegah pencurian, tapi ibaratnya melampiaskan amarah mengarah pada upaya penghilangan nyawa seseorang.

Sejatinya, jika ada orang yang teriak maling, warga seharusnya berpikir dulu apakah dia benar-benar maling. Kemudian, seharusnya warga melakukan upaya untuk pencegahan. Selanjutnya segera diserahkan kepada pihak yang berwajib dan itu berlaku untuk pencurian apapun. 

Namun, atas kasus ini kemudian memberi gambaran dan cerminan secara mendalam mengenai kompleksitas perilaku kolektif masyarakat yang cukup agresif dalam merespon terhadap situasi krisis. Lebih jauh lagi, perilaku agresifitas kolektif yang muncul dalam insiden ini mencerminkan dinamika psikologis dan sosial yang membutuhkan perhatian serius.

Perilaku Agresifitas Kolektif sebagai Manifestasi Frustrasi Sosial

Perilaku agresifitas kolektif mengacu pada tindakan agresif yang dilakukan oleh sekelompok orang secara bersama-sama. Ini adalah bentuk perilaku di mana individu-individu dalam suatu kelompok bertindak dengan cara yang lebih agresif atau destruktif dibandingkan jika mereka bertindak sendiri-sendiri. Perilaku ini sering kali dipicu oleh dinamika kelompok yang kompleks dan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial, psikologis, dan situasional (Kartono, 2009).

Dengan demikian, kekerasan massa seperti yang terjadi dalam kasus ini, sering kali berakar pada kemarahan kolektif yang tersembunyi di masyarakat. Fenomena ini dapat dijelaskan melalui teori psikologi sosial yang mengidentifikasi bagaimana individu dalam kerumunan bisa kehilangan rasa tanggung jawab pribadi dan bertindak secara impulsif dan destruktif. 

Dalam konteks Indonesia, kemarahan ini dapat berasal dari berbagai sumber, termasuk ketidakpuasan terhadap situasi ekonomi, frustrasi akibat kesulitan mendapatkan pekerjaan, serta ketidakmampuan untuk mengakses pendidikan berkualitas.

Perilaku agresifitas kolektif biasanya terjadi ketika individu-individu dalam kelompok merasakan ketidakadilan atau tekanan yang sama, yang kemudian memicu aksi agresif yang seolah-olah mendapat legitimasi dari kerumunan. Dalam situasi di mana massa merasa memiliki kekuasaan untuk menegakkan 'keadilan' sendiri, tindakan kekerasan menjadi lebih mudah terjadi. 

Kondisi ekonomi yang semakin sulit, dengan harga komoditas yang terus meningkat dan kesempatan kerja yang semakin terbatas, menciptakan tekanan besar bagi banyak individu. Ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar sering kali menghasilkan frustrasi yang mendalam. Ketika ada insiden yang memicu emosi, seperti teriakan maling, kemarahan ini dapat dengan mudah meledak menjadi kekerasan. 

Alih-alih mengevaluasi situasi secara rasional, massa cenderung bereaksi dengan cara yang agresif, mengarahkan amarah mereka pada individu yang dituduh tanpa bukti yang cukup.

Perilaku Agresifitas Kolektif Cerminan Kekurangan dalam Pendidikan: Mengelola Emosi dan Memahami Kebahagiaan

Selain manifestasi dari frustasi sosial, peristiwa ini juga mencerminkan kelemahan fundamental dalam sistem pendidikan Indonesia, yang masih terlalu fokus pada aspek kognitif dan pencapaian akademis, sementara mengabaikan pengembangan kecerdasan emosional dan keterampilan sosial. 

Pendidikan yang holistik seharusnya tidak hanya berorientasi pada pencarian pekerjaan, tetapi juga pada pembentukan karakter dan kemampuan untuk mengelola emosi. Pendidikan emosional mencakup pengajaran tentang bagaimana mengenali, memahami, dan mengelola emosi dengan cara yang konstruktif. Keterampilan ini sangat penting untuk mencegah reaksi impulsif yang merugikan, seperti yang terlihat dalam kekerasan massa. 

Kurikulum yang lebih komprehensif harus memasukkan pendidikan karakter yang mengajarkan nilai-nilai seperti empati, toleransi, dan resolusi konflik. Siswa perlu dibekali dengan kemampuan untuk berpikir kritis dan membuat keputusan yang berdasarkan pada pertimbangan rasional, bukan sekadar dorongan emosional.

Selain itu, pendidikan seharusnya juga membantu individu mencari kebahagiaan yang hakiki dan jati diri sebagai manusia. Kebahagiaan tidak hanya berasal dari pencapaian materi atau status sosial, tetapi juga dari kepuasan batin dan hubungan sosial yang sehat. 

Pendidikan yang menyeluruh akan memberikan ruang bagi siswa untuk mengeksplorasi minat dan bakat mereka, serta memahami nilai-nilai kemanusiaan yang mendalam.

Perilaku Agresifitas Kolektif dan Tanggung Jawab Masyarakat

Tindakan kekerasan oleh massa menuntut adanya tanggung jawab kolektif dari masyarakat untuk mencegah kejadian serupa di masa depan. Teriakan maling seharusnya direspons dengan upaya yang terstruktur dan bertanggung jawab. 

Warga harus dilatih untuk pertama-tama memverifikasi kebenaran tuduhan sebelum mengambil tindakan. Ini dapat dilakukan dengan melaporkan insiden tersebut kepada pihak yang berwajib dan menunggu proses hukum yang adil.

Perilaku agresifitas kolektif sering kali didorong oleh keyakinan bahwa keadilan dapat ditegakkan melalui tindakan bersama. Namun, tanpa pengetahuan dan kesadaran yang memadai, aksi massa ini justru berujung pada pelanggaran hak asasi dan kekerasan yang tidak terkendali. 

Pemerintah dan organisasi masyarakat sipil memiliki peran penting dalam mendidik masyarakat mengenai pentingnya penegakan hukum dan proses hukum yang adil. Kampanye penyadaran publik dan pelatihan komunitas dapat membantu mengurangi kejadian kekerasan massa dengan mengajarkan warga cara bereaksi yang lebih aman dan efektif dalam situasi krisis.

Kesimpulan

Kasus kekerasan massa yang mengakibatkan kematian pemilik mobil adalah cerminan kompleksitas masalah sosial yang mencakup kemarahan kolektif dan kelemahan dalam sistem pendidikan masyarakat kita.

Perilaku agresifitas kolektif yang muncul dari insiden ini menunjukkan bahwa tanggung jawab kolektif dan kesadaran sosial perlu ditingkatkan untuk mencegah kejadian serupa di masa depan. 

Selain daripada itu, kejadian tragis ini juga menegaskan perlunya reformasi dalam sistem pendidikan Indonesia. Pendidikan harus dipandang sebagai alat yang lebih dari sekadar sarana untuk mendapatkan pekerjaan; itu harus menjadi wahana untuk membentuk individu yang utuh, yang mampu mengelola emosinya, mencari kebahagiaan yang sejati, dan berperan sebagai anggota masyarakat yang bertanggung jawab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun