Solidaritas dan Kemanusiaan Global untuk Pengunsi Dunia
Bagi sebagian orang, keinginan untuk hidup tenang dan aman di kampung halaman merupakan sebuah impian. Namun bagi sebagian yang lainnya impian tersebut menjadi sebuah keniscayaan yang sulit diwujudkan. Konsekuensinya, mereka terpaksa meninggalkan kampung halaman dan mengungsi demi keselamatan dan keamanan.
Konflik, peperangan, kekerasan, penganiayaan, pelanggaran hak asasi manusia, maupun bencana alam, menjadi faktor pendorong yang memaksa sebagian orang untuk meninggalkan rumah dan mengungsi. Bagi mereka, kehidupan di kampung halaman bukanlah lagi pilihan, melainkan suatu keharusan untuk melindungi diri dan keluarga dari ancaman yang mengintai.
Begitulah kira-kira yang dialami oleh sebagian besar pengungsi dari negara-negara seperti Suriah, Ukraina, Afghanistan, Sudan, Myanmar, dan Republik Demokratik Kongo. Semua negara ini mengalami konflik, peperangan, pelanggaran hak asasi manusia, atau bencana alam yang memaksa penduduk mereka untuk meninggalkan rumah mereka demi keselamatan.
Situasi dan kondisi para pengungsi ini, kemudian ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menghormati kekuatan dan keberanian orang-orang yang terpaksa meninggalkan negara mereka untuk menghindari konflik atau penganiayaan, sebagai Hari Pengungsi Sedunia yang diperingati setiap tahun pada tanggal 20 Juni.
Peringatan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap kondisi para pengungsi di seluruh dunia dan pentingnya mendukung upaya penyelesaian konflik, perlindungan hak asasi manusia, dan pembangunan yang inklusif untuk menciptakan lingkungan di mana setiap individu dapat hidup dengan aman, damai, dan bermartabat.
Pertama kali diselenggarakan secara global pada tanggal 20 Juni 2001 untuk memperingati 50 tahun Konvensi Pengungsi 1951. Konvensi ini menetapkan definisi pengungsi sebagai orang yang meninggalkan negaranya karena "ketakutan yang beralasan akan penganiayaan karena ras, agama, kebangsaan, keanggotaan dalam kelompok sosial tertentu, atau pendapat politiknya".
Pengungsi Dunia: Data dan Masalah
Data pengungsi di dunia menunjukkan peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun. Pada akhir 2022, tercatat sebanyak 108,4 juta orang terpaksa mengungsi karena konflik, kekerasan, penganiayaan, dan pelanggaran hak asasi manusia (Kompas.id, 08 Agustus 2023).
Pada Oktober 2023, jumlah pengungsi diperkirakan telah melampaui 114 juta orang, sebuah rekor tertinggi. UNHCR mencatat bahwa para pengungsi ini terdiri dari berbagai kategori, termasuk pengungsi, pencari suaka, dan pengungsi internal, serta berbagai demografi mereka (beritasatu.com, 26 Oktober 2023).
Negara asal pengungsi terbanyak adalah Suriah, Ukraina, dan Afghanistan, yang masing-masing sedang dilanda konflik berkepanjangan, pelanggaran hak asasi manusia, dan perang.Â
Suriah sendiri menjadi negara asal pengungsi terbesar di dunia pada tahun 2022 dengan 6,5 juta pengungsi. Faktor-faktor pendorong pengungsian di paruh pertama tahun 2023 mencakup konflik di Ukraina, Sudan, Myanmar, dan Republik Demokratik Kongo, serta krisis kemanusiaan yang berkepanjangan di Afganistan dan masalah kekeringan, banjir, dan ketidakamanan di Somalia. Konflik-konflik ini mengakibatkan peningkatan jumlah pengungsi yang mencari perlindungan di negara-negara tetangga dan di seluruh dunia (beritasatu.com, 26 Oktober 2023).
Namun, beban terbesar untuk menampung para pengungsi ini dipikul oleh negara-negara miskin dan berkembang. Sebanyak 90 persen pengungsi dunia tinggal di negara-negara ini, yang sering kali kekurangan sumber daya untuk memberikan bantuan yang memadai (Kompas.id, 08 Agustus 2023). Kondisi hidup para pengungsi di negara-negara miskin dan berkembang sangat sulit dan berisiko, dengan berbagai tantangan yang harus mereka hadapi (Kompas.id, 20 Juni 2019).
Para pengungsi di negara-negara miskin dan berkembang tersebut, menghadapi berbagai keterbatasan yang mempengaruhi kualitas hidup mereka.
Pertama. Keterbatasan Akses terhadap Pendidikan. Pendidikan adalah hak dasar yang sulit dijangkau oleh banyak pengungsi. Mereka sering kali menghadapi keterbatasan akses ke sekolah dan lembaga pendidikan lainnya. Anak-anak pengungsi kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang layak, yang berdampak negatif pada masa depan mereka dan kemampuan mereka untuk keluar dari lingkaran kemiskinan (Kompas.id, 08 Agustus 2023)Â
Kedua. Keterbatasan Akses terhadap Kesehatan. Akses terhadap layanan kesehatan juga sangat terbatas bagi para pengungsi. Banyak dari mereka tinggal di kamp pengungsi dengan fasilitas kesehatan yang minim dan jauh dari standar. Ini mengakibatkan meningkatnya risiko penyakit dan kurangnya perawatan medis yang memadai, yang memperburuk kondisi kesehatan mereka.
Ketiga. Keterbatasan Akses terhadap Pekerjaan. Para pengungsi sering kali kesulitan mendapatkan pekerjaan yang layak. Tanpa dokumen yang sah dan status hukum yang jelas, mereka terpaksa bekerja di sektor informal dengan upah rendah dan kondisi kerja yang buruk. Ketidakmampuan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak menghambat kemampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan dasar dan membangun kehidupan yang stabil.
Keempat. Keterbatasan Akses terhadap Bantuan. Banyak pengungsi bergantung pada bantuan kemanusiaan untuk bertahan hidup. Namun, distribusi bantuan sering kali tidak merata dan tidak mencukupi. Keterbatasan dana dan sumber daya membuat banyak pengungsi tidak mendapatkan bantuan yang mereka butuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Kelima. Keterbatasan Akses terhadap Dokumentasi. Dokumen identitas dan status hukum adalah kebutuhan penting bagi para pengungsi. Tanpa dokumentasi yang sah, mereka tidak dapat mengakses layanan dasar, mendapatkan pekerjaan, atau bergerak dengan bebas. Keterbatasan akses terhadap dokumentasi memperparah ketidakpastian dan kerentanan mereka.
Keenam. Keterbatasan Akses terhadap Pendampingan Hukum. Banyak pengungsi menghadapi kesulitan dalam mengakses pendampingan hukum yang memadai. Tanpa bantuan hukum, mereka kesulitan mendapatkan status pengungsi yang sah dan perlindungan hukum yang layak. Ini mengakibatkan banyak pengungsi hidup dalam ketidakpastian hukum dan risiko deportasi.
Ketujuh. Keterbatasan Akses terhadap Infrastruktur. Kamp pengungsi dan pemukiman sementara sering kali kekurangan infrastruktur dasar seperti jalan, listrik, dan fasilitas umum lainnya. Keterbatasan akses terhadap infrastruktur ini membuat hidup para pengungsi semakin sulit dan berisiko.
Kedelapan. Keterbatasan Akses terhadap Air Bersih dan Sanitasi. Air bersih dan sanitasi adalah kebutuhan dasar yang sering kali sulit dijangkau oleh para pengungsi. Banyak kamp pengungsi tidak memiliki akses yang memadai terhadap air bersih dan fasilitas sanitasi, yang meningkatkan risiko penyakit dan membahayakan kesehatan mereka.
Kesembilan. Keterbatasan Akses terhadap Pangan. Ketersediaan pangan yang memadai adalah tantangan besar bagi para pengungsi. Banyak dari mereka hidup dengan makanan yang tidak mencukupi dan gizi buruk, yang berdampak negatif pada kesehatan dan perkembangan mereka.
Kesepuluh. Keterbatasan Akses terhadap Kebutuhan Dasar. Selain akses terhadap pendidikan, kesehatan, pekerjaan, bantuan, dokumentasi, pendampingan hukum, infrastruktur, air bersih, sanitasi, dan pangan, para pengungsi juga menghadapi keterbatasan dalam memenuhi kebutuhan dasar lainnya seperti tempat tinggal, pakaian, dan perlengkapan sehari-hari.
Penutup: Solidaritas Global untuk Kemanusiaan Â
Dengan kondisi hidup yang sangat sulit dan berisiko, para pengungsi di negara-negara miskin dan berkembang memerlukan bantuan yang lebih banyak dan lebih efektif.
Bantuan internasional harus ditingkatkan untuk memastikan bahwa para pengungsi mendapatkan perlindungan dan dukungan yang mereka butuhkan. Ini termasuk peningkatan perlindungan sosial untuk program-program pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi, serta distribusi bantuan yang lebih merata dan efisien.
Selain itu, perlu ada upaya untuk mengatasi akar penyebab pengungsian, seperti konflik, pelanggaran hak asasi manusia, dan bencana alam. Masyarakat internasional harus bekerja sama untuk mencari solusi damai dan berkelanjutan bagi konflik-konflik yang menyebabkan pengungsian, serta memperkuat sistem perlindungan hak asasi manusia dan respons terhadap bencana.
Dalam menghadapi krisis pengungsi yang semakin meningkat, solidaritas global dan komitmen bersama adalah kunci untuk memastikan bahwa para pengungsi dapat hidup dengan aman dan bermartabat.Â
Hari Pengungsi Sedunia mengingatkan kita semua akan tanggung jawab kita untuk mendukung dan melindungi mereka yang terpaksa meninggalkan rumah mereka demi keselamatan dan masa depan yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H