Komunikasi Politik dalam Pilkada 2024: Perspektif Teori Komunikasi Deliberatif Habermas
Dalam era demokrasi modern, komunikasi politik telah menjadi elemen krusial dalam upaya membangun hubungan yang efektif antara elit politik dan masyarakat. Dikatakan krusial karena berkaitan sebagai landasan bagi demokrasi yang sehat dan pemerintahan yang responsif.Â
Hal ini menciptakan saluran dua arah antara pemerintah dan masyarakat, memungkinkan dialog yang konstruktif dan pengambilan keputusan yang lebih baik untuk kesejahteraan bersama.
Dalam terminologi ilmu politik, komunikasi politik adalah suatu proses komunikasi yang melibatkan pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik, atau berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan, dan aktivitas politik dalam sistem politik.Â
Proses komunikasi politik di mana informasi tentang isu-isu politik, program, dan pesan politik disebarluaskan kepada publik melalui berbagai media, mulai dari pidato, debat publik, media massa, hingga media sosial dan lainnya.
Dalam konteks Pilkada 2024 sebagai bagian dari proses politik, komunikasi politik akan memainkan peran kunci dalam menentukan bagaimana para calon kepala daerah dapat mengartikulasikan visi mereka dan menarik dukungan dari masyarakat. Melalui komunikasi politik, kandidat dapat mengklarifikasi isu-isu yang berkembang, menjawab kritik, dan memperkuat citra positif di mata publik.
Demikian pentingnya komunikasi politik bukan soal menyampaikan pesan dari calon pemimpin kepada pemilih, tetapi juga tentang membangun dialog dua arah yang dapat memperkuat kepercayaan dan partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi.
Perspektif Teori Komunikasi Deliberatif Habermas
Salah satu perspektif teoritik komunikasi yang menawarkan kerangka kerja untuk memahami dan meningkatkan kualitas komunikasi politik, khususnya menjelang Pilkada 27 November 2024 adalah Jurgen Habermas, seorang filsuf Jerman, melalui teori komunikasi deliberatifnya.
Teori komunikasi deliberatif yang diusung oleh Habermas menekankan pentingnya ruang publik yang ideal di mana diskusi rasional dan argumentatif dapat berlangsung secara terbuka dan bebas dari tekanan eksternal.Â
Dalam karyanya, The Theory of Communicative Action (1981), Habermas menjelaskan bahwa tindakan komunikatif merupakan dasar bagi demokrasi yang sehat. Ia menekankan bahwa komunikasi yang deliberatif memerlukan partisipasi yang setara dari semua anggota masyarakat, di mana setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk berbicara, didengar, dan mempengaruhi keputusan kolektif.
Kita saat ini hidup di era post-demokrasi yang ditandai dengan berbagai tantangan yang mengancam prinsip-prinsip demokrasi deliberatif.Â
Pertama, populisme dan retorika emosional sering kali menyederhanakan masalah kompleks menjadi slogan-slogan yang mudah diterima publik, namun mengikis kualitas diskusi publik.
Kedua, polarisasi politik yang semakin tajam menciptakan jurang antara kelompok-kelompok yang berbeda, menghambat dialog yang konstruktif.Â
Ketiga, penyebaran informasi yang cepat melalui media sosial sering kali tidak akurat dan telah mengurangi kualitas informasi yang menjadi dasar pengambilan keputusan politik.
Menjelang Pilkada 27 November 2024, tantangan-tantangan ini menjadi semakin relevan. Komunikasi politik para elit dengan masyarakat memainkan peran krusial dalam menentukan arah pemilihan.Â
Di sinilah teori komunikasi deliberatif Habermas menawarkan beberapa solusi untuk mengatasi tantangan di era post-demokrasi.
Pertama, dengan mengedepankan diskusi rasional yang berbasis argumen dan bukti, komunikasi deliberatif dapat mengurangi pengaruh retorika populis yang cenderung simplistis dan manipulatif.
Dalam konteks Pilkada, elit politik perlu mengembangkan strategi komunikasi yang menekankan pentingnya argumentasi yang mendalam dan berbasis data.Â
Kampanye yang hanya mengandalkan slogan-slogan emosional tanpa substansi sebaiknya dihindari. Sebaliknya, dialog yang terbuka dan jujur mengenai isu-isu yang dihadapi oleh masyarakat perlu diutamakan.
Kedua, komunikasi deliberatif mempromosikan inklusivitas dan partisipasi yang setara, yang dapat menjembatani polarisasi politik dengan menciptakan ruang bagi dialog antar kelompok yang berbeda.Â
Para elit politik perlu memastikan bahwa kampanye mereka tidak hanya menyasar kelompok-kelompok tertentu saja, tetapi merangkul seluruh lapisan masyarakat.Â
Diskusi publik yang inklusif dan partisipatif dapat mendorong terjadinya dialog yang konstruktif antara berbagai kelompok, sehingga mengurangi polarisasi.
Ketiga, dengan menekankan pentingnya validitas dan keabsahan informasi, komunikasi deliberatif dapat membantu mengatasi masalah penyebaran informasi palsu dan bias di media sosial.Â
Para elit politik harus berkomitmen untuk menyebarkan informasi yang akurat dan terpercaya. Dalam kampanye Pilkada, mereka perlu bekerja sama dengan platform media sosial untuk mencegah penyebaran hoaks dan misinformasi.Â
Selain itu, mendukung inisiatif jurnalisme publik yang fokus pada pelaporan yang mendalam dan investigatif juga penting, sehingga publik mendapatkan informasi yang berkualitas untuk membuat keputusan yang informatif.
Langkah Strategis untuk Mewujudkan Komunikasi Deliberatif
Untuk mewujudkan komunikasi deliberatif di era digital, diperlukan beberapa langkah strategis. Pertama, memperkuat pendidikan literasi media agar masyarakat mampu memilah informasi yang akurat dan relevan dari banjir informasi yang ada. Pendidikan literasi media sebagai program pendidikan masyarakat agar setiap individu memiliki kemampuan untuk berpikir kritis terhadap informasi yang diterima.
Kedua, membangun platform digital yang mendorong diskusi yang sehat dan berbasis argumen, seperti forum online yang diawasi dengan ketat untuk mencegah penyebaran hoaks dan ujaran kebencian.Â
Pemerintah dan penyedia platform media sosial perlu bekerja sama untuk menciptakan ruang diskusi yang aman dan konstruktif. Moderasi konten yang efektif dan transparan sangat penting untuk memastikan bahwa diskusi tetap berada dalam kerangka yang rasional dan bebas dari ujaran kebencian.
Ketiga, mendukung inisiatif jurnalisme publik yang fokus pada pelaporan yang mendalam dan investigatif. Media massa memiliki peran penting dalam menyajikan informasi yang berkualitas dan membantu publik dalam membuat keputusan yang tepat.Â
Para elit politik perlu berinteraksi secara terbuka dengan jurnalis dan mendukung upaya jurnalisme investigatif yang bertujuan untuk mengungkap kebenaran dan menyediakan informasi yang akurat kepada masyarakat.
Demikian teori komunikasi deliberatif Habermas menawarkan panduan yang berharga dalam menghadapi tantangan komunikasi politik di era post-demokrasi. Menjelang Pilkada 27 November 2024, para elit politik memiliki tanggung jawab untuk mengedepankan diskusi rasional, inklusif, dan berbasis argumen serta informasi yang valid.Â
Dengan langkah-langkah strategis yang tepat, komunikasi politik dapat menjadi lebih deliberatif, membantu mengatasi populisme, polarisasi, dan misinformasi, serta memperkuat demokrasi di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H