Pertama, populisme dan retorika emosional sering kali menyederhanakan masalah kompleks menjadi slogan-slogan yang mudah diterima publik, namun mengikis kualitas diskusi publik.
Kedua, polarisasi politik yang semakin tajam menciptakan jurang antara kelompok-kelompok yang berbeda, menghambat dialog yang konstruktif.Â
Ketiga, penyebaran informasi yang cepat melalui media sosial sering kali tidak akurat dan telah mengurangi kualitas informasi yang menjadi dasar pengambilan keputusan politik.
Menjelang Pilkada 27 November 2024, tantangan-tantangan ini menjadi semakin relevan. Komunikasi politik para elit dengan masyarakat memainkan peran krusial dalam menentukan arah pemilihan.Â
Di sinilah teori komunikasi deliberatif Habermas menawarkan beberapa solusi untuk mengatasi tantangan di era post-demokrasi.
Pertama, dengan mengedepankan diskusi rasional yang berbasis argumen dan bukti, komunikasi deliberatif dapat mengurangi pengaruh retorika populis yang cenderung simplistis dan manipulatif.
Dalam konteks Pilkada, elit politik perlu mengembangkan strategi komunikasi yang menekankan pentingnya argumentasi yang mendalam dan berbasis data.Â
Kampanye yang hanya mengandalkan slogan-slogan emosional tanpa substansi sebaiknya dihindari. Sebaliknya, dialog yang terbuka dan jujur mengenai isu-isu yang dihadapi oleh masyarakat perlu diutamakan.
Kedua, komunikasi deliberatif mempromosikan inklusivitas dan partisipasi yang setara, yang dapat menjembatani polarisasi politik dengan menciptakan ruang bagi dialog antar kelompok yang berbeda.Â
Para elit politik perlu memastikan bahwa kampanye mereka tidak hanya menyasar kelompok-kelompok tertentu saja, tetapi merangkul seluruh lapisan masyarakat.Â
Diskusi publik yang inklusif dan partisipatif dapat mendorong terjadinya dialog yang konstruktif antara berbagai kelompok, sehingga mengurangi polarisasi.