Mohon tunggu...
Hen Ajo Leda
Hen Ajo Leda Mohon Tunggu... Buruh - pengajar dan pegiat literasi, sekaligus seorang buruh tani separuh hati

menulis dan bercerita tentang segala hal, yang ringan-ringan saja

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Manusia dalam Revolusi Digital: Eksistensi, Kebebasan, dan Masalah di Era Klik

10 Juni 2024   00:18 Diperbarui: 10 Juni 2024   05:55 681
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kemajuan teknologi. (Sumber Gambar: Shutterstock via Kompas.com)

Manusia dalam Revolusi Digital: Eksistensi, Kebebasan dan Masalah di Era Klik

Hari Media Sosial Indonesia, yang diperingati setiap tanggal 10 Juni adalah momentum penting untuk merefleksikan peran media sosial dalam kehidupan kita. 

Dicetuskan oleh Handi Irawan, seorang pengusaha Indonesia, peringatan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan edukasi masyarakat tentang penggunaan media sosial yang bijak. 

Pada hari ini, masyarakat diharapkan berbagi hal-hal positif, pesan-pesan kebaikan, dan inspirasi bersama teman, keluarga, dan orang terdekat melalui media sosial. 

Perayaan ini diharapkan dapat memotivasi kehidupan bermedia sosial yang lebih baik dan meningkatkan kesadaran tentang pentingnya bermedia sosial dengan bijak.

Di Indonesia, media sosial memainkan peran yang sangat signifikan dalam kehidupan masyarakat, dengan penetrasi yang sangat tinggi setiap tahunnya. Laporan We Are Social menyebutkan, jumlah pengguna aktif media sosial di Indonesia sebanyak 139 juta orang pada Januari 2024. Jumlah tersebut setara dengan 49,9% dari populasi di dalam negeri. 

Data yang sama juga menunjukkan, rata-rata, pengguna media sosial di Indonesia menghabiskan waktu sekitar 3 jam 18 menit setiap hari. Dari segi demografi, Instagram memiliki jumlah pengguna aktif terbanyak di antara usia 16-64 tahun. 

WhatsApp adalah aplikasi pesan instan yang paling banyak digunakan di Indonesia dengan 92,1% pengguna aktif. Instagram, platform berbagi foto dan video, juga sangat populer dengan 86,5% pengguna aktif. 

Penggunaan yang meluas di berbagai kelompok usia, menunjukkan preferensi kuat terhadap platform digital yang menawarkan komunikasi dan berinteraksi secara instan dengan konten visual. Revolusi digital telah membawa perubahan besar dalam cara kita hidup dan bahkan memandang keberadaan kita sendiri. 

Menggenapi judul buku "Aku klik maka aku ada" karya F. Budi Hardiman (2021) bahwa keberadaan kita diakui melalui interaksi digital. Aktivitas online kita menjadi cermin dari identitas kita, menentukan bagaimana kita dilihat dan diakui oleh dunia. Ini membuka diskusi tentang bagaimana kita memahami diri kita sendiri dan bagaimana kita dipahami oleh orang lain dalam konteks digital.

Identitas manusia tidak lagi sekadar tentang pikiran dan fisik, tetapi juga tentang aktivitas digital kita. 

Setiap tindakan yang kita lakukan secara online, baik itu mengirim email, memposting di media sosial, atau berbelanja online, semuanya berkontribusi pada identitas digital kita. Setiap klik, suka, atau komentar menambah dimensi baru pada siapa kita di mata dunia digital.

Sebagaimana ditulis Hardiman (2021), telepon cerdas (smartphone), PC, laptop, aplikasi digital dan konten visual, yang kita miliki bukan sekadar alat-alat atau perangkat kerja komunikasi, melainkan mewujudkan mode keberadaan kita yang baru. Disebutkan oleh Hardiman bahwa, "aku klik maka aku ada" sebagai mode of being manusia yang seolah menjadi salah satu kebenaran paling pasti saat ini.

Hal tersebut bermaksud menjelaskan bahwa, mode keberadaan kita telah bergeser, dan pernyataan "aku klik maka aku ada" mencerminkan realitas di mana keberadaan kita semakin diakui melalui jejak digital yang kita tinggalkan. Aktivitas online kita menjadi cerminan diri kita yang dilihat oleh orang lain. 

Namun jamak terjadi, dengan semakin meningkatnya ketergantungan pada identitas digital, muncul pula berbagai tantangan dan masalah. Kecanduan media sosial, tekanan untuk selalu online, dan keinginan untuk mendapatkan pengakuan digital dapat mengarah pada krisis identitas, gangguan kesehatan mental dan berbagai persoalan sosial lainnya. 

Salah satu paradoks utama adalah bagaimana teknologi yang seharusnya memudahkan kehidupan kita justru sering kali menjebak kita dalam mode eksistensi yang kompleks dan terkadang absurd.

Alih-alih tetap eksis terhadap kompleksitas baru yang dihasilkan oleh revolusi digital, namun justru sebaliknya kita terjerembab dalam gemuruh revolusi digital yang paling absurd. 

Realitas Virtual: Dunia Kedua yang Mengubah Segalanya

Dalam dunia yang semakin terhubung, realitas virtual menjadi elemen kunci dari identitas digital kita. Banyak dari kita menghabiskan waktu berjam-jam dalam ruang virtual, baik itu melalui media sosial, atau platform berbasis komunitas. 

Dalam ruang-ruang ini, kita dapat menciptakan dan mengelola identitas yang mungkin berbeda dari diri kita yang sebenarnya. Hal ini membuka peluang untuk ekspresi diri yang lebih bebas, namun juga bisa menimbulkan ketegangan antara identitas digital dan nyata.

Contohnya, di media sosial, kita cenderung menampilkan versi terbaik dari diri kita. Foto-foto yang diedit, cerita sukses, dan momen-momen bahagia sering kali mendominasi feed kita. Sementara itu, tantangan, kegagalan, dan kesulitan pribadi sering kali disembunyikan. 

Banyak orang merasa tertekan untuk terus-menerus memeriksa ponsel mereka, merespons pesan secara instan, dan mengikuti perkembangan terbaru di media sosial. Ini menciptakan performa untuk terus mempertahankan citra ideal yang dapat menjadi beban emosional dan psikologis seperti stres, kecemasan, dan depresi. 

Manusia modern sering kali terjebak dalam loop digital yang tak berujung. Kebutuhan untuk tetap terhubung dan diakui di dunia digital sering kali mengorbankan kualitas interaksi manusia di dunia nyata. 

Akibatnya, hubungan sosial menjadi dangkal dan kurang bermakna, dan kita merasa lebih terisolasi meskipun secara teknis lebih terhubung dari sebelumnya. Dalam jangka panjang, hal ini tentunya akan mengganggu produktivitas dan kualitas hidup kita.

Isu serius terkait privasi dan keamanan, di mana identitas digital kita sering kali rentan terhadap pencurian data, peretasan, dan pelanggaran privasi. Setiap kali kita berinteraksi secara online, kita meninggalkan jejak digital yang dapat dilacak dan dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Ini menimbulkan kekhawatiran tentang bagaimana data pribadi kita digunakan dan disalahgunakan.

Selain masalah kecanduan, privasi dan keamanan identitas digital, juga masalah penghinaan atau cyberbullying melalui media sosial semakin sering terjadi di Indonesia. 

Penghinaan dan cyberbullying di media sosial seperti X, Instagram, YouTube, Facebook, dan lainnya bisa berupa status, komentar, dan postingan yang merendahkan nama baik seseorang. 

Selain dampak hukum, psikologis dan kesehatan mental, penggunaan media sosial bisa menyebabkan dinamika konflik yang berujung merusak kualitas hubungan dan integrasi sosial.

Kesimpulan: Menjaga Keseimbangan di Era Digital

Revolusi digital telah mengubah cara kita hidup, berinteraksi, dan memandang diri kita sendiri. Identitas kita kini tidak hanya ditentukan oleh siapa kita di dunia nyata, tetapi juga oleh aktivitas digital kita. 

Revolusi digital juga tidak harus membuat kita terasingkan dari dunia sosial atau kecanduan yang kemudian berdampak pada perihal dekstruktif, tetapi bisa menjadi panggilan untuk menggunakan teknologi dengan cara yang memberdayakan dan memanusiakan manusia.

Karenanya penting bagi kita untuk tetap kritis dan waspada terhadap dampak negatif dari revolusi digital. Kecanduan digital, tekanan sosial, privasi keamanan data dan masalah penghinaan atau cyberbullying adalah beberapa tantangan yang perlu disikapi secara bijak.

Meningkatkan literasi digital melalui pendidikan untuk memahami cara kerja media digital, mengenali informasi valid, berpikir sebelum membagikan informasi pribadi, dan memahami dampak konten yang diunggah merupakan cara menggunakan teknologi secara efektif dan bijak.

Dengan sikap kritis dan bijak, kita dapat menemukan keseimbangan antara dunia digital dan dunia nyata, serta membangun identitas yang autentik dan bermakna.

Pada akhirnya, revolusi digital memang menawarkan banyak peluang sekaligus ancaman, namun dengan kesadaran dan pendekatan yang bijaksana, kita dapat memanfaatkan teknologi untuk memperkaya kehidupan kita tanpa kehilangan esensi siapa kita sebenarnya.

Sebagaimana Hardiman (2021) yang mengingatkan kita bahwa dalam era digital, penting untuk tetap waspada dan kritis terhadap penggunaan teknologi. Menggunakan teknologi dengan bijak dan bertanggung jawab adalah kunci untuk menghindari jebakan-jebakan yang dapat merusak identitas dan eksistensi kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun