Setiap tindakan yang kita lakukan secara online, baik itu mengirim email, memposting di media sosial, atau berbelanja online, semuanya berkontribusi pada identitas digital kita. Setiap klik, suka, atau komentar menambah dimensi baru pada siapa kita di mata dunia digital.
Sebagaimana ditulis Hardiman (2021), telepon cerdas (smartphone), PC, laptop, aplikasi digital dan konten visual, yang kita miliki bukan sekadar alat-alat atau perangkat kerja komunikasi, melainkan mewujudkan mode keberadaan kita yang baru. Disebutkan oleh Hardiman bahwa, "aku klik maka aku ada" sebagai mode of being manusia yang seolah menjadi salah satu kebenaran paling pasti saat ini.
Hal tersebut bermaksud menjelaskan bahwa, mode keberadaan kita telah bergeser, dan pernyataan "aku klik maka aku ada" mencerminkan realitas di mana keberadaan kita semakin diakui melalui jejak digital yang kita tinggalkan. Aktivitas online kita menjadi cerminan diri kita yang dilihat oleh orang lain.Â
Namun jamak terjadi, dengan semakin meningkatnya ketergantungan pada identitas digital, muncul pula berbagai tantangan dan masalah. Kecanduan media sosial, tekanan untuk selalu online, dan keinginan untuk mendapatkan pengakuan digital dapat mengarah pada krisis identitas, gangguan kesehatan mental dan berbagai persoalan sosial lainnya.Â
Salah satu paradoks utama adalah bagaimana teknologi yang seharusnya memudahkan kehidupan kita justru sering kali menjebak kita dalam mode eksistensi yang kompleks dan terkadang absurd.
Alih-alih tetap eksis terhadap kompleksitas baru yang dihasilkan oleh revolusi digital, namun justru sebaliknya kita terjerembab dalam gemuruh revolusi digital yang paling absurd.Â
Realitas Virtual: Dunia Kedua yang Mengubah Segalanya
Dalam dunia yang semakin terhubung, realitas virtual menjadi elemen kunci dari identitas digital kita. Banyak dari kita menghabiskan waktu berjam-jam dalam ruang virtual, baik itu melalui media sosial, atau platform berbasis komunitas.Â
Dalam ruang-ruang ini, kita dapat menciptakan dan mengelola identitas yang mungkin berbeda dari diri kita yang sebenarnya. Hal ini membuka peluang untuk ekspresi diri yang lebih bebas, namun juga bisa menimbulkan ketegangan antara identitas digital dan nyata.
Contohnya, di media sosial, kita cenderung menampilkan versi terbaik dari diri kita. Foto-foto yang diedit, cerita sukses, dan momen-momen bahagia sering kali mendominasi feed kita. Sementara itu, tantangan, kegagalan, dan kesulitan pribadi sering kali disembunyikan.Â
Banyak orang merasa tertekan untuk terus-menerus memeriksa ponsel mereka, merespons pesan secara instan, dan mengikuti perkembangan terbaru di media sosial. Ini menciptakan performa untuk terus mempertahankan citra ideal yang dapat menjadi beban emosional dan psikologis seperti stres, kecemasan, dan depresi.Â
Manusia modern sering kali terjebak dalam loop digital yang tak berujung. Kebutuhan untuk tetap terhubung dan diakui di dunia digital sering kali mengorbankan kualitas interaksi manusia di dunia nyata.Â