Mohon tunggu...
Hen Ajo Leda
Hen Ajo Leda Mohon Tunggu... Buruh - pengajar dan pegiat literasi, sekaligus seorang buruh tani separuh hati

menulis dan bercerita tentang segala hal, yang ringan-ringan saja

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Strategi dan Hegemoni Elit Menuju Pilkada 2024: Dinamika Politik dan Kesadaran Masyarakat

18 Mei 2024   15:43 Diperbarui: 18 Mei 2024   15:43 437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: https://www.kompas.com

Strategi dan Hegemoni Elit Menuju Pilkada 2024: Dinamika Politik dan Kesadaran Masyarakat

Menjelang Pilkada 2024, berbagai manuver dan persiapan oleh para calon kepala daerah serta partai politik mulai terlihat dengan jelas. Meskipun waktu hingga penetapan calon resmi masih cukup yang panjang, langkah-langkah strategis untuk meraih simpati dan dukungan masyarakat sudah mulai diambil. 

Para kontestan Pilkada, baik petahana maupun calon baru, semuanya sibuk merancang strategi dan menyiapkan "amunisi" yang tepat untuk memenangkan hati pemilih. Stretegi dan amunisi ini dapat berupa program kerja yang relevan dengan kebutuhan masyarakat, janji-janji yang menarik, hingga upaya meningkatkan citra diri di mata publik. 

Tidak dapat dipungkiri, dalam dunia politik, popularitas adalah salah satu kunci utama kesuksesan. Oleh karena itu, segala upaya untuk meraih popularitas menjadi bagian penting dari strategi politik para calon.

Partai politik juga mulai memperlihatkan gelagat yang menarik untuk diamati. Partai politik pun giat membangun koalisi dan formasi yang diharapkan mampu membawa kemenangan dalam kontestasi politik mendatang. Membentuk koalisi-koalisi strategis dengan tujuan memperkuat posisi dalam medan pertarungan. 

Koalisi ini tidak hanya dilihat dari sisi jumlah kursi di parlemen, tetapi juga dari sisi pengaruh dan kekuatan politik di daerah masing-masing. Formasi koalisi yang terbentuk diharapkan mampu menciptakan sinergi yang kuat untuk menghadapi tantangan politik yang ada.

Hegemoni Elit: Strategi dan Taktik

Menariknya, dalam setiap perhelatan politik seperti Pilkada, tidak hanya strategi teknis yang menjadi perhatian utama. Hegemoni elit politik juga memainkan peran penting dalam menentukan arah dan dinamika politik lokal. 

Elit politik sering kali memproduksi dan mereproduksi wacana yang bertujuan untuk merawat popularitas serta memanipulasi kesadaran massa rakyat. Ini adalah fenomena yang sering terjadi menjelang Pilkada, di mana wacana yang dibangun oleh elit politik dapat mempengaruhi persepsi dan preferensi pemilih.

Wacana yang dibangun oleh elit politik ini tidak jarang sarat dengan retorika yang bertujuan untuk membentuk opini publik sesuai dengan kepentingan mereka. Misalnya, isu-isu populis yang dikemas sedemikian rupa agar sesuai dengan keinginan dan harapan masyarakat sering kali diangkat. 

Hal ini bertujuan untuk menciptakan kesan bahwa para elit politik dan calon yang diusung oleh mereka adalah representasi dari aspirasi rakyat. Namun, di balik itu, ada upaya untuk mempertahankan dan memperkuat hegemoni politik yang sudah ada.

Hegemoni ini tidak hanya terlihat dalam bentuk wacana, tetapi juga dalam praktik-praktik politik lainnya. Misalnya, penggunaan media massa dan media sosial sebagai alat propaganda politik. Melalui media, elit politik dapat menyebarkan pesan-pesan yang mendukung agenda politik mereka. 

Media massa yang dimiliki atau dikontrol oleh pihak-pihak tertentu sering kali digunakan untuk mendiskreditkan lawan politik dan memperkuat posisi calon yang mereka dukung.

Selain itu, dalam konteks Pilkada, manipulasi kesadaran massa rakyat juga sering kali dilakukan melalui berbagai program dan kegiatan sosial. Misalnya, kegiatan bakti sosial, bantuan langsung tunai, hingga kegiatan-kegiatan yang bersifat hiburan. 

Dalam beberapa kasus, praktik-praktik seperti ini bahkan mendekati politik uang, di mana bantuan atau hadiah diberikan dengan harapan mendapatkan dukungan suara. Fenomena ini kemudian tampak nyata dalam praktik politik yang disebut patronase dan klientilisme.

Politik Uang, Patronase dan Klientilisme Politik Elektoral

Merujuk pada pengelaman penyelenggaraan Pilkada tahun 2020, berdasarkan hasil survei yang dirilis oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI), bahwa politik uang sangat marak terjadi. LSI mencatat bahwa 21,9% responden di wilayah Pilkada 2020 mengaku pernah satu atau dua kali ditawari uang atau barang untuk memilih calon gubernur tertentu (https://databoks.katadata.co.id, 2020).

Selain itu, 4,7% responden menyatakan bahwa mereka beberapa kali ditawari uang atau barang untuk memilih calon gubernur tertentu. Dan diantara 22,7% responden di wilayah Pilkada 2020 melaporkan pernah ditawari uang atau barang untuk memilih calon bupati atau wali kota tertentu. Sebanyak 5,7% responden mengaku beberapa kali menerima tawaran serupa (https://databoks.katadata.co.id, 2020).

Praktik politik uang dan atau tukar tambah suara dengan bantuan atau hadiah, memvalidasi fragmen politik patronase dan klientilisme yang secara kultural politis-ekonimi sebagai implikasi dari keberlangsunga politik dinasti.

Penelitian oleh Yuliartiningsih dan Adrison (2022) menunjukkan bahwa dari 508 kabupaten/kota yang menyelenggarakan Pilkada antara 2017-2020, sebanyak 247 wilayah (48,6 persen) terindikasi memiliki dinasti politik. Tingkat kemenangan kandidat dari dinasti politik juga sangat signifikan, dengan 69 persen dari kandidat tersebut berhasil memenangkan pemilihan di 170 dari 247 wilayah yang terindikasi dinasti politik. Hal ini menunjukkan bahwa dinasti politik semakin menguat dalam konteks Pilkada, menjadi sebuah pola yang semakin mapan dan terlegitimasi dalam arena elektoral (Apriandi, 2024). 

Widdy Apriandi (2024) dalam artikelnya berjudul Menyambut Pilkada: Dinasti Politik dan Klientelisme (Kompas.com, 26 Maret 2024) menjelaskan bahwa keberadaan dinasti politik ini memiliki implikasi yang luas terhadap patronase, klientelisme, dan korupsi. 

Dinasti politik cenderung memperkuat jaringan patronase, di mana hubungan antara pemimpin dan pengikut didasarkan pada pemberian patronase atau dukungan material sebagai imbalan atas loyalitas politik. Klientelisme, di mana pemilih diberikan keuntungan material langsung sebagai imbalan atas dukungan politik mereka, juga sering kali terjadi dalam konteks ini.

Kemudian implikasi dari patronase dan klientelisme adalah peningkatan risiko korupsi, terutama dalam penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pemimpin yang terpilih melalui jaringan dinasti politik mungkin merasa terikat untuk memberikan imbalan kepada para pendukung mereka, yang sering kali dilakukan melalui penyalahgunaan dana publik. 

Korupsi ini pada akhirnya berdampak negatif terhadap pembangunan daerah dan memperburuk kondisi kemiskinan masyarakat. Dana yang seharusnya digunakan untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan  dan layanan publik sering kali dialihkan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, menghambat upaya pengentasan kemiskinan dan pembangunan daerah.

Kesadaran Masyarakat Pemilih

Menghadapi fragmen kontestasi elektoral, khususnya dalam menghadapi dinamika politik menuju Pilkada 2024 ini, masyarakat sebagai pemilih harus lebih kritis dan cerdas. Kritisisme dan kecerdasan politik masyarakat akan menjadi kunci dalam menentukan arah dan kualitas demokrasi di Indonesia. 

Masyarakat pemilih harus mampu membedakan antara wacana politik yang substantif dengan yang hanya bersifat manipulatif. Masyarakat harus lebih jeli dalam menilai program kerja dan janji kampanye yang ditawarkan oleh para calon. Selain itu, masyarakat juga harus memahami bahwa politik adalah tentang kepentingan bersama, bukan hanya tentang kepentingan elit politik. 

Dengan kritisisme dan kecerdasan politik masyarakat dapat berpartisipasi secara sadar dan tidak terjebak dalam relasi kuasa dinasti politik, patronase, klientelisme, dan menolak segama macam bentuk politik uang. Sehingga Pilkada dapat menghasilkan pemimpin daerah yang dapat mendorong pembangunan daerah berjalan lebih optimal.

Sebagaimana seperti Pilkada tahun 2020, menurut Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) bahwa partisipasi masyarakat dalam melaporkan kasus politik uang pada Pilkada serentak 2020 cukup tinggi. Berdasarkan data penanganan dugaan pelanggaran politik uang yang berjumlah 262 kasus, terdapat 197 laporan yang berasal dari masyarakat, sementara 65 kasus merupakan temuan dari Bawaslu (https://www.bawaslu.go.id, 21 Desember 2020).

Hal ini menunjukkan bahwa, partisipasi masyarak adalah kunci untuk menangkal segara bentuk praktik politik uang dan tukar tambah suara dengan bantuan atau hadiah. Pasalnya, politik uang sering kali dilakukan di ruang tertutup yang sulit terdeteksi, sehingga partisipasi aktif dari masyarakat sangat penting untuk mengungkap dan menangani kasus-kasus serupa tersebut.

Dengan demikian, kritisisme dan kecerdasan politik masyarakat akan menjadi kunci dalam menentukan arah dan kualitas demokrasi lokal di Indonesia. Dengan pemilih yang kritis dan cerdas, diharapkan proses Pilkada 2024 dapat berjalan dengan lebih baik dan menghasilkan pemimpin-pemimpin daerah yang benar-benar mampu membawa perubahan positif bagi masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun